Tuesday, November 20, 2007

Matematika Gaji dan Logika Sedekah

Dalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria ini. Orang-orang
biasa memanggilnya Mas Ajy. Saya tertarik dengan falsafah hidupnya, yang
menurut saya, sudah agak jarang di zaman ini, di Jakarta ini. Dari
sinilah perbincangan kami mengalir lancar.

Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yang diprogram
sebuah LSM bekerja sama dengan salah satu departemen di dalam negeri.
Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan dari
pelatihan itu. Melainkan dari pria ini.

Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan. Karena
penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidak seperti
yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan. Jauh dari
mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengan sikap
hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahami dari
beberapa kali perbincangan yang kami bangun.

Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukar
informasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satu
sekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kami
masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-sama
bernasib "guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakan
sangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amat
berbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi.

Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untuk membiayai
seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masih memiliki
tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga selesai SMA.
Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagi
berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisa
mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari
jumlah yang diterimanya.

"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka. Ada
dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis."

"Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?"

"Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orang pelit.
Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya
nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu dia
akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang."

"Kenyataannya memang begitu kan Mas?", kata saya mengiyakan. "Mana
mungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisa sedekah.
Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya.

"Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Cobalah keluar
dari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punya uang
sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang seribu
kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"

"Tidak ada. Habis." jawab saya spontan.

"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seribu rupiah. Dan
seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga."

Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agak tercenung
pada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin masih tersisa
uang seribu rupiah? Dari mana sisanya?

"Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kan sudah
diberikan pada pengemis ", saya tak sabar untuk mendapat jawabannya.

"Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis. Tapi
cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logika sedekah.
Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa jadi puluhan
lontaran doa' keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu atas
pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita
memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu
menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat.
Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilai
bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC."

Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yang dilontarkannya.
Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui contoh kecil yang
hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memang
berat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah
merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak
mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih
kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.

Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjang melalui
pola hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajy seperti
ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkan untuk
mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunas jasa-jasanya.
Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dan sejagat haru
biru perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang
dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat.

"Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilai metematis
dengan dimensi sedekah itu?".

"Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin, tapi
sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat dengan keterbatasan
gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah ke bawah,
jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilai qona'ah, ridha
dan syukur". Saya semakin tertegun

Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah saya
habiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selama
ini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama saya
rasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya
menutup rapat egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahan
kesadaran batin yang telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan
satu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan
mencari butir-butir mutiara lain yang masih berserak dan belum sempat
saya kumpulkan.

***

Sepulang berjamaah saya membuka kembali Al-Qur'an. Telah beberapa waktu
saya acuhkan. Ada getaran seolah menarik saya untuk meraih dan
membukanya. Spontan saya buka sekenanya. Saya terperanjat, sedetik saya
ingat Mas Ajy. Allah mengingatkan saya kembali:

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Terjemah QS. Al-Baqarah

Diambil dari karyanya :A. Muttaqin

Bukan berat beban yang membuat kita stress

Pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen Stress, Stephen Covey mengangkat segelas air dan bertanya kepada para siswanya:
"Seberapa berat menurut anda kira-kira segelas air ini?" Para siswa menjawab mulai dari 200 gr sampai 500 gr."Ini bukanlah masalah berat absolutnya, tapi tergantung berapa lama anda memegangnya," kata Covey.

"Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama 1 jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans untuk saya. Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat."

"Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat beratnya," lanjut Covey.
"Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi." Kita harus meninggalkan beban kita secara periodic, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi.
Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sore ini, tinggalkan beban tersebut."

"Bukan beban berat yang membuat kita Stress, tetapi lamanya kita memikul beban tersebut." Stephen Covey.
Jangan dipendam.
Saya pernah membaca artikel menarik tentang teknik berburu monyet di hutan-hutan Afrika. Caranya begitu unik. Sebab, teknik itu
memungkinkan si pemburu menangkap monyet dalam keadaan hidup-hidup tanpa cedera sedikitpun.
Maklum, ordernya memang begitu. Sebab, monyet-monyet itu akan digunakan sebagai hewan percobaan atau binatang sirkus di Amerika.

Cara menangkapnya sederhana saja. Sang pemburu hanya menggunakan toples berleher panjang dan sempit. Toples itu diisi kacang yang telah diberi aroma.
Tujuannya,agar mengundang monyet-monyet datang. Setelah diisi kacang, toples-toples itu ditanam dalam tanah dengan menyisakan mulut toples dibiarkan tanpa tutup.

Para pemburu melakukannya di sore hari. Besoknya, mereka tingal meringkus monyet-monyet yang tangannya terjebak di dalam botol tak bisa dikeluarkan.
Kok, bisa? Tentu kita sudah tahu jawabnya. Monyet-monyet itu tertarik pada aroma yang keluar dari setiap toples. Mereka mengamati lalu memasukkan tangan untuk mengambil kacang-kacang yang ada di dalam. Tapi karena menggenggam kacang, monyet-monyet itu tidak bisa menarik keluar tangannya. Selama mempertahankan kacang-kacang itu, selama itu pula mereka terjebak. Toples itu
terlalu berat untuk diangkat. Jadi, monyet-monyet itu tidak akan dapat pergi ke mana-mana!

Teman, kita mungkin akan tertawa melihat tingkah bodoh monyet-monyet itu.
Tapi, tanpa sadar sebenamya kita mungkin sedang menertawakan diri sendiri. Ya, kadang kita bersikap seperti monyet-monyet itu. Kita mengenggam erat setiap permasalahan yang kita miliki layaknya monyet mengenggam kacang.
Kita sering mendendam, tak mudah memberi maaf, tak mudah melepaskan maaf.
Mulut mungkin berkata ikhlas, tapi bara amarah masih ada di dalam dada.
Kita tak pernah bisa melepasnya. Bahkan, kita bertindak begitu bodoh, membawa "toples-toples" itu ke mana pun kita pergi. Dengan beban berat itu, kita berusaha untuk terus berjalan. Tanpa sadar, kita sebenarnya sedang terperangkap penyakit hati yang akut.

Teman, sebenarnya monyet-monyet itu bisa selamat jika mau membuka genggaman tangannya. Dan, kita pun akan selamat dari penyakit hati jika sebelum tidur kita mau melepas semua "rasa tidak enak" terhadap siapapun yang berinteraksi dengan kita. Dengan begitu
kita akan mendapati hari esok begitu cerah dan menghadapinya dengan senyum.
Dan, kita pun tahu surga itu diperuntukkan bagi orang-orang yang hatinya bersih.
Jadi, kenapa tetap kita genggam juga perasaan tidak enak itu?

Sekedar Renungan bagi para orang tua

Jika masih tertahan kelopak mata ini untuk tetap terbuka hingga larut, atau
saat terjaga di pertengahan malam selalu saya sempatkan untuk menyambangi
kamar anak-anak. Saya hampiri dan tatap wajah mereka bergantian sambil
menghalau nyamuk yang hinggap di tubuh mereka. Wajah indah yang terlelap
itu menyibakkan kejujuran dalam hati, bahwa mereka hadir sebagai amanah yang harus dijaga sebaik-baiknya.

Mereka ada untuk dicinta.
Terbayanglah kekesalan yang hampir tercipta akibat perbuatan dan tingkah
nakal mau pun pembangkangan mereka siang tadi. Terlintaslah amarah yang
nyaris meluap saat mereka tak mendengar perintah mau pun ketika peraturan
terlanggar. Beruntung kekesalan itu hanya sempat mampir di kepala dan tak
sampai keluar makian kasar yang pasti akan melukai telinga mereka.
Bersyukur amarah ini tak sekali pun sempat membuat mereka melihat saya
seperti monster yang menakutkan.

Mereka hanya anak-anak yang sangat pantas dan bisa sangat dimaafkan ketika
berbuat kesalahan. Jiwa mereka masih sangat rapuh untuk menerima kalimat dan perilaku kasar orang tua hanya karena kesalahan kecil yang mereka pun
mungkin tak sadar kalau itu benar-benar sebuah kesalahan.

Bisa jadi letak kesalahan justru terletak pada orang tua yang terlalu kaku
membuat peraturan, mengekang kebebasan mereka sebagai individu yang meski
masih kecil tetap saja seorang manusia yang berhak dan bebas memilih untuk
melakukan yang terbaik menurut mereka.

Tugas orang tua bukan melarang atau memerintah, tapi lebih kepada
mengarahkan agar mereka tetap berada pada jalur yang sebenarnya.

Menatap kembali wajah-wajah bersih itu dalam tidur mereka yang mungkin
sedang memimpikan Ayah dan Ibu yang tengah menimang dan membuai penuh kasih, tergambar jelas tak sedikit pun ada dosa di diri mereka. Kalau mau
menghitung-hitung, jangan-jangan justru kita lah yang lebih banyak berbuat
kesalahan terhadap mereka dibanding jumlah kesalahan kecil mereka.

Saya teringat banyak kejadian di luar. Misalnya ketika di sebuah angkot
seorang ibu memaki anaknya yang masih berusia empat tahun -dari posturnya
seukuran anak saya- dengan kalimat yang sangat belum waktunya anak sekecil
itu mendapatkannya. Belum lagi tempelengan yang sempat mampir di kepalanya.
"goblok lu ya, kalau jatuh mampus luh," hanya karena ia sempat melongok ke
arah pintu angkot. Sebuah kesalahan kecil yang mestinya bisa disikapi lebih
bijak dengan sebuah nasihat lembut. Atau ketika isteri saya bercerita
tentang seorang ibu dari teman sekolah anak kami di TK. Anaknya terjatuh
saat berlari, "Nyungsep sekalian biar bonyok tuh muka. Udah dibilangin
jangan lari," itu pun masih ditambah satu tamparan di kepala. Yang pasti itu
tak meredakan tangis si anak, bahkan membuat memar di lututnya semakin perih terasa hingga ke hati.

Mengusap bulir keringat di kening mereka dan membelai rambutnya saat tidur
membuahkan pertanyaan di benak ini, haruskah bintang-bintang sejernih ini
mendapatkan perlakuan sekasar itu?

Lihat saja senyum mereka saat terlelap, dan dengarkan hati mereka bernyanyi
dalam mimpi. Anda akan mendengarkan nyanyian riangnya jika Anda
memperlakukannya sepanjang hari seperti halnya Anda tengah menciptakan
sebuah mimpi indah untuknya.

Namun jangan terperanjat ketika tengah malam tidur Anda terusik saat ia
mengigau dan berteriak ketakutan.
Hanya rintihan yang bisa terdengar dari mimpinya karena sepanjang hari ia
hanya mendapatkan kecemasan dan ketakutan dari kalimat kasar, delikkan mata
dan ayunan keras tangan Anda ke tubuh mereka.

Tak seekor nyamuk pun pernah saya persilahkan untuk menyentuh setiap inci
kulit mereka. Lalu kenapa masih ada yang tega mencederai anak-anak, padahal
dalam berbagai dongeng mereka selalu mendengar bahwa yang kasih dan cintanya tak terbanding itulah Ayah dan Ibu.

Coba sentuh dengan lembut wajah halusnya saat tidur, itu akan membuatnya
bermimpi indah seolah tengah terbaring di pangkuan bidadari.

Anak-anak tak pernah membenci orang tuanya, bahkan saat mereka mendapatkan perlakukan kasar dari orang tua pun, tetap saja nama Ayah atau Ibu yang mereka panggil saat menangis. Anak-anak tak pernah berdosa terhadap orang tuanya, justru kebanyakan orang tua yang berdosa kepada mereka dengan makian kasar dan pukulan menyakitkan. Anak-anak tak pernah benar-benar membuat orang tua kesal, orang tua lah yang teramat sering membuat mereka kecewa mendapati Ayah dan Ibunya tak seindah syair lagu yang selalu diajarkan guru di sekolah.

Ah, kadang orang tua baru menyadari bahwa anak-anak hadir untuk dicinta saat
ia terbaring lemah di salah satu tempat tidur di bangsal anak-anak. Atau
ketika Tuhan mencabut amanah itu dari kita. Menangiskah kita?
salam,

ENERGY PELUKAN

Suatu hari di gua Hira, Muhammad SAW tengah ber'uzlah, beribadah kepada Rabbnya. Telah sekian hari ia lalui dalam rintihan, dalam doa, dalam puja dan harap pada Dia Yang Menciptanya. Tiba-tiba muncullah sesosok makhluk dalam ujud sesosok laki-laki. "Iqra!" katanya.

Muhammad SAW menjawab, "Aku tidak dapat membaca!" Laki-laki itu merengkuh Muhammad ke dalam pelukannya, kemudian mengulang kembali perintah "Iqra!" Muhammad memberikan jawaban yang sama dan peristiwa serupa pun terulang hingga tiga kali. Setelah itu, Muhammad dapat membaca kata-kata yang diajarkan lelaki itu. Di kemudian hari, kata-kata itu menjadi wahyu pertama yang yang diturunkan Allah kepada Muhammad melalui Jibril, sang makhluk bersosok laki-laki yang menemui Muhammad di gua Hira.

Sepulang dari gua Hira, Muhammad mencari Khadijah isterinya dan berkata, "Selimuti aku, selimuti aku!". Ia gemetar ketakutan, dan saat itu, yang paling diinginkannya hanya satu, kehangatan, ketenangan dan kepercayaan dari orang yang dicintainya. Belahan jiwanya. Isterinya. Maka Khadijah pun menyelimutinya, memeluknya dan mendengarkan curahan hatinya. Kemudian ia menenangkannya dan meyakinkannya bahwa apa yang dialami Muhammad bukanlah sesuatu yang menakutkan, namun amanah yang akan sanggup ia jalankan.

***

Suatu hari dalam sebuah pelatihan manajemen kepribadian. Para instruktur yang jugapara psikolog tengah mengajarkan berbagai terapi penyembuhan permasalahan kejiwaan. Dari semua terapi yang diberikan, selalu diakhiri dengan pelukan, baik antar sesama peserta maupun oleh instrukturnya.

Namun demikian, mereka mempersilakan peserta yang tidak bersedia melakukan pelukan dengan lawan jenis untuk memilih partner pelukannya dengan yang sejenis. Yang penting tetap berupa terapi pelukan. Menurut mereka, pelukan adalah sebuah terapi paling mujarab hampir dari semua penyakit kejiwaan dan emosi. Pelukan akan memberikan perasaan nyaman dan aman bagi pelakunya.

Pelukan akan menyalurkan energi ketenangan dan kedamaian dari yang memeluk kepada yang dipeluk. Pelukan akan mengendorkan urat syaraf yang tegang.Saya yang saat itu menjadi salah satu peserta, memilih menggunakan pilihan kedua ini. Pelatihan itu, di kemudian hari memberikan perubahan besar dalam stabilitas emosi dan kejiwaan saya.

***

Apa yang saya inginkan pertama kali ketika saya sedang bersedih, marah atau apapun yang secara emosi mengguncang perasaan saya? Dipeluk suami. Pelukan itu akan menenangkan saya, membuat saya nyaman dan tenang kembali. Apa yang kami berdua lakukan setelah berantem? Saling memeluk.

Pelukan itu akan menurunkan tensi emosi di antara kami. Pelukan itu akan merekatkan kembali ikatan cinta di antara kami setelah luka dan kecewa yang sempat tertoreh. Pelukan itu, akan membuat kehidupan rumah tangga kami menjadi makin mesra. Segala sedih, segala marah, segala kecewa, dan segala beban hilang oleh kehangatan pelukan.

Pelukan itu, kemudian tidak hanya berlaku ketika saya terguncang secara emosi. Setelah setahun lebih kami menikah, pelukan telah menjadi satu kebiasaan dalam hari-hari kami. Hal pertama yang saya lakukan ketika tiba di rumah sepulang dari kantor atau dari bepergian adalah memeluk suami. Memeluknya erat-erat. Itu saja. Tak Lebih. Hal pertama yang saya inginkan ketika saya bangun dari tidur adalah memeluk dan dipeluk suami saya. Memeluknya kuat-kuat. Itu saja.

Bukan yang lainnya. Jika kami bangun pada jeda waktu yang tak sama, maka 'utang' kebiasaan itu dilakukan setelah shalat lail atau shalat subuh. Jika kami tidur di kamar yang berbeda, biasanya jelang subuh atau habis shubuh, salah satu dari kami akan menyusul yang lainnya. Hanya untuk satu hal saja: memeluk dan dipeluk.

Saat malam menjelang tidur, kami terbiasa tiduran dan saling memeluk, berlama-lama sambil berbincang tentang aktifitas kami seharian. Ada kata-kata yang minimal tiga kali sehari saya ucapkan kepada suami saya, "I Love U" dan "Minta peluk!" Rasanya ada yang kurang jika kekurangan pelukan dalam sehari. Pelukan memberiku rasa aman dan nyaman. Pelukan, saya rasakan memberikan kehangatan yang tak tergantikan oleh apapun.

****

Berdasarkan hasil penelitian, kita butuh empat kali pelukan per hari untuk bertahan hidup, delapan supaya tetap sehat, dan dua belas kali untuk pertumbuhan. Jika ingin terus tumbuh, kita butuh dua belas pelukan per hari. Pelukan berkhasiat menyehatkan tubuh. Pelukan merangsang kekebalan tubuh kita. Pelukan membuat kita merasa istimewa. Pelukan memanjakan sifat kekanak-kanakan yang ada dalam diri kita. Pelukan membuat kita lebih merasa akrab dengan keluarga dan teman-teman.

Riset membuktikan bahwa pelukan dapat menyembuhkan masalah fisik dan emosional yang dihadapi manusia di zaman serba stainless steel dan wireless ini. Bukan hanya itu saja, para ahli mengemukakan bahwa pelukan bisa membuat kita panjang umur, melindungi dari penyakit, mengatasi stress dan depresi, mempererat hubungan keluarga dan membantu tidur nyenyak. (The Aladdin Factor, Jack Canfield & Mark Victor Hansen.")

Helen Colton, penulis buku The Joy of Touching juga menemukan bahwa ketika seseorang disentuh, hemoglobin dalam darah meningkat hingga suplai oksigen ke jantung dan otak lebih lancar, badan menjadi lebih sehat dan mempercepat proses penyembuhan. Maka bisa dikatakan bahwa pelukan bisa menyembuhkan penyakit "hati" dan merangsang hasrat hidup seseorang.

Berdasarkan hasil penelitian yang dikeluarkan oleh jurnal Psychosomatic Medicine, pelukan hangat dapat melepaskan oxytocin, hormon yang berhubungan dengan perasaan cinta dan kedamaian. Hormon tersebut akan menekan hormon penyebab stres yang awalnya mendekam di tubuh.

Hasil penelitian tersebut, memberikan keterangan ilmiah atas kecenderungan dalam diri setiap manusia untuk mendapatkan ketenangan dan kehangatan melalui pelukan. Penelitan tersebut memberikan fakta ilmiah atas besarnya energi yang dapat disalurkan melalui pelukan.

Sayangnya, banyak dari kita dibesarkan dalam rumah yang di dalamnya pelukan adalah sesuatu yang tidak lazim, dan kita mungkin merasa tidak nyaman minta dipeluk dan memeluk. Kita mungkin pernah digoda sebagai "si anak manja" jika sering memeluk atau dipeluk Ayah, Ibu atau saudara kandung kita. Dan jadilah kita atau remaja-remaja kita saat ini, tumbuh dengan kekurangan energi pelukan.

Bisa jadi, kekurangan energi pelukan ini adalah termasuk salah satu faktor yang menyebabkan maraknya kasus ketidakstabilan emosi manusia seperti yang terjadi belakangan ini: tingginya angka kriminalitas dan narkoba pada golongan anak dan remaja, kesurupan di berbagai sekolah dan sebagainya.

Dan bisa jadi, sesungguhnya solusi untuk mengurangi berbagai permasalahan itu sebenarnya sederhana saja: Pemberian pelukan kasih sayang yang banyak kepada anak-anak dari orang tuanya. Bukankah Rasulullah sangat gemar memeluk isteri, anak, cucu, dan bahkan anak-anak kecil di lingkungannya dengan pelukan kasih sayang? Bahkan pernah ada satu kisah ketika Rasulullah mencium dan memeluk cucunya, seorang sahabat menyatakan bahwa hingga ia punya 10 orang anak, tak satu pun yang pernah ia curahi dengan peluk cium.

Rasulullah saat itu berkomentar, "Sungguh orang yang tidak mau menyayang (sesamanya), maka dia tidak akan disayang." (riwayat Al-Bukhari)

Thursday, June 28, 2007

Jangan Hanya Melihat Penampilannya

Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar dan suaminya yang berpakaian
sederhana dan terlihat usang, turun dari kereta api di Boston, dan
berjalan dengan malu² menuju kantor Pimpinan Harvard University
dan meminta janji temu. Sang sekretaris langsung mendapat kesan
bahwa orang kampung, udik seperti ini tidak ada urusan di Harvard
dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.

"Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard", kata sang pria lembut. "Beliau hari
ini sibuk," sahut sang sekretaris cepat. "Kami akan menunggu," jawab sang
Wanita. Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan
bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi.
Tetapi ternyata tidak, dan sang sekretaris mulai frustrasi dan
akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pimpinan.

"Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan
pergi," katanya pada sang Pimpinan Harvard. Sang pimpinan menghela nafas
dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu
untuk mereka, tetapi dia tidak menyukai ada orang yang mengenakan baju
pudar dan pakaian usang diluar kantornya. Sang Pemimpin Harvard,
dengan wajah galak menuju pasangan tersebut.

Sang wanita berkata padanya, "Kami memiliki seorang anak yang kuliah
tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini.
Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin
mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini."

Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh... dia bahkan terkejut. "Nyonya,"
katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap
orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu,
tempat ini akan seperti kuburan."

"Oh, bukan," sang wanita menjelaskan dengan cepat, "Kami tidak ingin
mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk
Harvard." Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada
baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah
gedung! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung?! Kami memiliki
lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang.
Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada
suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai
sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?" Suaminya
mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan.

Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan
perjalanan ke Palo Alto, California, dimana mereka mendirikan sebuah
Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk
seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard

RENUNGAN IDA ARIMURTI : DIBALIK KERUDUNG

Assalamualaikum Wr Wb.

Sebelum aku memulai cerita aku ini, izinkanlah aku untuk memohon maaf
apabila ada pihak2 yang tidak berkenan dengan cerita aku ini, terutama
keluargaku. Untuk itu nama2 orang dan tempat tidak akan aku sebutkan.
Aku ucapkan terimakasih untuk Retno (bukan nama sebenarnya) dari Univ. T.
di kotaku yg mau menuliskan kisah sejati aku ini. Semoga kisah sejati aku
ini menjadi inspirasi buat orang yg membacanya atau mengalami hal yg sama.

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan Hidayah pada kita semua.

Aku, panggil saja "Mawar", beurusia 30an thn dilahirkan di sebuah pulau
di sebrang pulau jawa, di kota P. Aku lahir sebagai anak terakhir dari 4
besaudara. Kakakku yg pertama dan kedua, laki2, sedangkan yg ketiga
perempuan. Kami berasal dari keluarga keturunan dan kami merupakan
generasi ke 4 yg sudah menetap di negri ini. Kakek buyut kami merupakan
pendatang dari negri jauh dr sebrang di awal abad 20. Keluarga kami
memulai bisnis benar2 dari bawah, menurut cerita orang tua kami, dulu
kakek buyut kami hanya berjualan dengan pikulan bahan2 kebutuhan pokok
seperti gula, garam, beras dll keluar masuk kampong. Usahanya baru
berkembang dengan pesat setelah pada tahun2 awal setelah kemerdekaan,
pemerintah pada waktu itu mulai menggalakan usaha yg dilakukan oleh bangsa
sendiri/pribumi.

Waktu itu dikenal istilah Ali Baba. Ali untuk pangggilan pribumi,
sedangkan Baba untuk warga keturunan seperti kami. Waktu itu pengusaha
pribumi asli diberikan kemudahan perizinan usaha, bahkan mengimport
dari
negara2 lain, tapi umumnya mereka tidak punya banyak modal. Waktu itu
banyak warga keturunan yg mempunyai banyak modal kemudian membeli ijin
usaha yg diperoleh olah para bribumi tsb, sehingga mereka secara mudah
melakukan export import dengan negri2 tetangga (singapura, Malaysia ,
hongkong, dll) yg pada waktu itu memang juga dikuasai olah warga dari
etnis kami.

Singkat cerita, bisnis keluarga kami benar2 menjadi semakin besar dan
merambah ke segala bidang, mulai dari pertambangan, tambang emas,
property, perkebunan, dll. Boleh dibilang kekayaan keluarga kami sudah
diatas rata2 dari orang kaya di negri ini, above than ordinary rich.

Harta kekayan kami yg amat melimpah itu sampai orang tua kami kadang kala
risau seandainya tiba2 kami sekeluarga (tiba2) meninggal sehingga tak ada
yg mengurus harta yg sedemikian banyaknya itu. Untuk itu kami sekeluarga
tak pernah melakukan perjalanan dengan pesawat secara bersama2. Andai kami
sekeluarga akan melakukan liburan pada saat dan tempat yg sama, maka
biasanya kami dibagi menjadi 2 atau 3 penerbangan, Papa dan mama satu
pesawat, dan kami sisanya juga dibagi 2 penerbangan yg lain. Sehingga
apabila terjadi sesuatu musibah, maka akan tetap ada bagian keluarga kami
yg masih selamat, dan tetap bisa mengurus bisnis dan kekayaan kami. Aku
sengaja cerita panjang lebar latar belakang keluarga kami, sebab ini akan
berhubungan sekali secara emosi dengan kisah aku selanjutnya.

Papa kami lahir dan dibesarkan di pulau ini, selepas sekolah menengah atas
beliau melanjutkan sekolah bisnis di negri H, sehingga begitu kembali ke
negri ini, beliau manjadi businessman yg amat handal, dan mempunyai banyak
teman2 bisnis di berbagai negara. Papa sebenarnya orang yg rendah hati,
pendiam, bicaranya terukur dan seperlunya, jarang marah pada anak2nya.
Sedangkan mama, sebenarnya berasal dari pulau lain, dia dulu pernah
bekerja pada perusahaan kakek kami (orang tua dari papa), sebelum akhirnya
bertemu papa dan menikah. Mama orangnya keras, pintar, lincah, banyak
pergaulan, sehingga kadang kami berpikir, papa seperti takluk pada mama.
Banyak kebijakan perusahaan yg berasal dari ide mama, dan memang selalu
sukses. Papa dan mama, memang pasangan yg serasi, saling mengisi
kekurangan. Masa kecil aku lalui dengan penuh kebahagian, dan sejak SD
sampai SMA aku disekolahkan disebuah sekolah swasta terkemuka di kota
kami, yg siswanya banyak berasal dari anak2 pejabat, bupati, gubernur,
dll. Aku berbaur dengan siapapun tanpa memandang golongan, agama dan ras.
Kadang aku diundang untuk mampir bermain kerumah mereka (anak bupati,
gubernur) sepulang sekolah, sehingga aku mengenal labih dekat dengan
keluarga mereka. Ini pula yg kelak bermanfaat buat perusahaan keluarga aku.

Di sekolah kami, ada pelajaran agama untuk tiap2 pemeluknya. Pada saat itu
tiap ada jadwal pelajaran agama tertentu, maka bagi pemeluk agama yg lain
diperbolehkan keluar kelas, tapi boleh juga tetap tinggal dikelas apabila
memang menghendaki. Jadi misalnya hari ini giliran pelajaran agama Islam,
maka murid2 non muslim diperbolehkan meninggalkan kelas, begitupula
sebaliknya apabila ada pelajaran agama lain. Tapi aku sendiri sering tetap
tinggal dikelas mendengarkan apa yg diajarkan ibu guru agama Islam di
kelas kami.

Saudara2 ku semua....

Entah kenapa aku yg sejak lahir dididik secara non muslim, bahkan tiap
minggu aku beribadah di tempat ibadah kami, merasa tertarik dengan ajaran
agama Islam. Aku sendiri tak tahu datangnya dari mana. Semacam ada
panggilan dari hati aku yg paling dalam, tapi saat itu aku pikir mungkin
itu hanya rasa keingintahuan semata, bukan mendalami secara jauh dan
mendalam. Tiap mendengar azan, entah kenapa hati aku selalu bergetar.
Dirumah kami yg besar, kadang hanya aku seorang diri, orang tua kami
selalu sibuk di Jakarta sehingga hanya beberapa hari dirumah dalam
sebulan, kakak2 aku ada yg sudah kuliah di luar negri, sehingga rumah
mempunyai 6 kamar yg besar2, yg seharusnya cukup untuk menampung 20 orang,
hanya dihuni oleh aku sendiri. Pembantu, sopir, satpam, tinggal di
pavilion khusus untuk mereka yg terletak terpisah dengan rumah induk.
Dalam kesunyian itu hati aku merasa sejuk tiap mendengar ayat suci Al
Quran yg kadang tak sengaja aku dengarkan di TV.

Kembali ke pelajaran agama di kelas. Entah mengapa aku makin tertarik
untuk mendalami ajaran agama Islam tiap ada pelajaran agama dikelas.
Melihat ibu guru yg mengenakan kerudung, dengan wajah yg bersih,bersinar,
hati aku terasa sejuk. Dengan melihat wajah ibu guru itu saja aku sudah
merasa damai. Tanpa aku sadari kadang aku mencatat apa yg ibu guru iru
ajarkan, bahkan aku mulai hapal diluar kepala ayat2 yg pendek2. Itu semua
benar2 terjadi begitu saja, tanpa ada aku sadari dan tanpa bisa dicegah
oleh diri aku sendiri. Pernah ibu guru tsb menghampiri aku yg tak sengaja,
secara reflex mencatat pelajaran tetang haji yg dia tulis di papan tulis.
Beliau tahu aku non muslim, dan menghampiri tempat duduk ku, jantung ku
berdebar keras membayangkan kemungkinan aku diusir dari kelas.

Tetapi.....ternyata beliau dengan senyumnya ramah melihat catatan yg
aku tulis, sambil berkata, "Insya Allah kelak suatu saat Mawar bersama
dengan ibu melaksanakan ibadah Haji ya.."

Sejak saat itu hubunganku dengan Ibu guru (sebut saja ibu guru Aisyah)
makin akrab, aku hampir tidak sabar menunggu datangnya hari pelajaran
ibu Aisyah. Hubunganku dengan beliau bagai anak dan ibu. Tetapi saat itu
aku juga tetap mengikuti pelajaran agama yg saat itu masih aku anut, walau
lebih banyak melamun, bahkan tidak mencatat sama sekali apa yg
diajarkan.

Sebagai gadis remaja, tinggiku sekitar 160cm, tentu sedang mekar2nya
dan giat2nya mancari pacar. Teman2ku banyak yg mengatakan kalau tubuhku
indah, proporsional, berwajah oriental, bakalan banyak menarik perhatian laki2.
Plus dengan latar belakang keluarga ku yg amat berkecukupan, makin banyak
laki2 yg tergila2 padaku. Entah kenapa saat itu aku tidak tertarik dengan
laki2 yg berasal dari etnis ku. Tiap hari jumat melihat siswa2 pria
melakukan ibadah shalat jumat, hatiku langsung bergetar, membayangkan
andai salah seorang dari mereka adalah pacarku, dengan wajah bersih
bersinar dan masih basah tetesan air wudhu, berjalan ke masjid diseberang
sekolah, ah...alangkan indahnya membayangkan wajah2 tersebut. Tapi saat
itu aku tahu diri, aku yg berasal dari etnis keturunan, apakah ada laki2
pribumi yg mau menjadikan aku pacarnya. Aku tahu masih banyak dari mereka
yg membedakan ras, dan berpacaran dengan ras kami masih dianggap
memalukan, bahkan bisa jadi ejekan dan gunjingan dilingkungan keluarganya.
Aku pernah berpacaran dengan anak bupati dikota ku, tapi kemudian dia
memutuskan hubungan kami, dikarenakan ayahnya akan mencalonkan diri
menjadi Gubernur, dan dia tidak mau ada anggota keluarganya yg bisa
menghambat pencalonan tsb. Misalnya anaknya dengan berpacaran dengan ras
lain (??). Walau alasan itu amat sangat mengada2 tapi aku terima dengan
lapang dada. Memang aku sudah menyadari akan ada penolakan, karena aku
berasal dari etnis non pribumi. Aku tahu orang tuanya tentu tak merestui
anaknya berhubungan terlalu jauh dgn orang yg bukan dari ras mereka, dan
berlainan agama.

Walau begitu hatiku sudah bulat untuk kelak memiliki pasangan hidup
seorang pribumi, dan aku bahkan bersedia memeluk Islam sebagai agamaku.
Kelak keputusan hidupku ini akan menjadi perjalanan panjang dan penuh
cobaan dalam hidupku.

Selepas SMA aku melanjutkan study ke Ausie lalu ke negri Paman Sam,
mengikuti kakak2 ku yg sudah berada disana. Tak banyak yg perlu aku
ceritakan dgn masa2 studiku disana. Hampir 5 tahun kemudian aku kembali ke
tanah air, dengan gelar master di tangan dan aku mengabdi ke perusahaan
keluargaku untuk membesarkan bisnis mereka. Dalam waktu singkat perusahaan
kami memperoleh profit yg amat meningkat, dan terus membesar, serta
mulai merambah ke banyak sektor bisnis. Aku banyak memiliki akses ke para
petinggi di daerahku karena semasa sekolahku dulu aku sudah mengenal
beberapa keluarga mereka. Semua urusan perijinan yg menyangkut
perusahaanku, bisa aku selesaikan dengan mudah. Aku masih tetap melajang
di pertengahan usia 20an tahun. Banyak pria2 yg berusaha menarik
perhatian ku, dari pengusaha2 muda yg sukses bahkan sampai pemilik perusahaan2
besar. Tapi hatiku tak bergetar sama sekali. Aku belum menemukan
seseorang yg benar2 menjadi soulmate ku. Sekedar mencari suami amatlah mudah
bagiku, ibarat hanya menjentikan jari maka puluhan pria akan mendatangi ku.
Tapi aku benar2 mencari seorang soulmate, belahan jiwa sejati untuk mendampingi
ku.

Sampai suatu ketika perusahaan kami memperoleh karyawan baru dari kantor
cabang kami di pulau Jawa. Orangnya 3 tahun lebih tua dari ku, wajahnya
bersih, dia berasal dari etnis pribumi Jawa. Tutur katanya lemah lembut,
sopan, tubuhnya tinggi, proporsional, dan ah...ini dia..dia seorang muslim
yg shaleh. Sejak kedatangan dia dikantor kami, para wanita gak habis2nya
membicarakan tentang dia, dan berlomba bisa mendapatkan dia. Menurut
laporan kantor kami, dia amat rajin, jujur dan berprestasi di kantor yg
lama, sehingga dia dipromosikan pekerjaan yg lebih tinggi dan menantang di
kantor kami ini. Kebetulan kerjaan yg akan dia kerjaan akan menjadi satu
divisi dengan ku. Sehingga aku akan banyak berhubungan dengan dia.

Mula2 di bulan2 pertama aku masih bersikap 'Jaim' jaga image, karena aku
ini anak dari pemilik perusahaan ini. Tapi lama2, hatiku gak bisa
berbohong,.. hatiku sedikit tapi pasti, luluh juga... aku mulai jatuh
cinta. Pernah suatu ketika sehabis mengunjungi kantor gubernur aku satu
mobil dengan dia. Ditengah jalan dia minta ijin padaku untuk berhenti
sebentar di masjid raya di kota ku untuk shalat ashar. Dari dalam mobil,
aku perhatikan gimana dia berwudhu, lalu melangkah masuk ke masjid dan
melakukan ibadah....ahhh. .andai aku kelak bisa mengikuti di belakang..

Awal2nya aku memanggil dia dengan sebutan formal dikantor 'Pak' dan dia
juga memanggilku 'Ibu'..tapi lama2 kelamaan secara tak sengaja aku mulai
memanggil dia 'mas', karena aku sering lihat keluarga jawa memanggil orang
yg lebih tua, suami, kakak, dengan sebutan mas. Mulanya dia agak rikuh
tiap aku panggil demikian, tapi lama kelamaan mulai terbiasa,. Tapi itu
hanya aku lakukan apabila hanya sedang berdua dengan dia, tidak didepan
orang2 kantor. Akupun mulai meminta dia memanggilku 'Dik', aku merasa
risih tiap kali dia panggil aku 'Ibu Mawar'.

Seiring dengan waktu, sesuai pepatah jawa, "witing tresno jalaran soko
kulino", cinta akan tumbuh karena terbiasa selalu bersama2.

Saudara2ku.. .

Bisa dibayangkan gimana awal kisah cinta kami...didalam mobil yg disupiri
sopirku, kami sama2 duduk dibelakang. Awalnya kami hanya membicarakan dan
membahas berkas2 pekerjaan, kadang secara tak sengaja tangan kami saling
sentuhan. Dan dia secara sopan segera menarik, dan minta maaf..Ah..sebel
rasanya..padahal akulah yg menginginkannya. Tapi itu tak berlangsung lama,
pada akhirnya dia takluk juga, kadang aku biarkan tangan dia memegang
berkas, lalu aku pura2 membahasnya sambil tanganku menyentuh jari dan
tangannya.

Kadang aku genggam jarinya,..dan lama kelamaan dia memberikan
response..dia juga menggenggam tanganku...ahh. .

Kadang kalau mobil kami sudah mau sampai tujuan, aku pura2 minta supirku
untuk kembali ketempat lain, aku pura2 ada yg tertinggal.. padahal aku
hanya ingin berlama2 dengan dia (sebut saja mas Fariz) di mobil.

Pernah suatu ketika aku pura2 ada yg tertinggal dan suruh sopirku membawa
kami berdua ke rumah ku. Begitu mobil kami memasuki halaman rumahku yg
besar, wajahnya tampak pucat pasi. Dia tampak ketakutan dan gugup. Dia
bilang nanti kalau papaku (alias big boss dia) akan marah kalau melihat
dia jam kerja begini malah mampir kerumah dia. Aku bilang tak perlu takut,
bukankah aku, anaknya big boss, yg membawa dia kesini.

Hampir setahun sudah dia bekerja bersama denganku, dan hubungan kami sudah
makin erat, tapi dia belum menyatakan cintanya padaku. Mungkin dia takut
aku akan menolaknya, apalagi keyakinan kami pada saat itu masih berlainan.
Hingga suatu ketika dia menelponku, dan mengajak bertemu disuatu restoran
di luar kota , dia memintaku datang tanpa sopir. Dia tidak mau ada orang
kantor yg melihat kami berdua. Di restoran itu dia menyatakan cintanya
padaku...langsung saat itu juga aku terima. Dan aku katakan pada dia,
kalau aku merasa mas Fariz adalah soulmate ku. Aku akan bersedia memeluk
Islam mengikuti agama yg dia anut. Aku juga katakan kalau memang aku sudah
sejak lama tertarik dengan agama Islam, jadi mas Fariz semoga bisa menjadi
pembimbingku. Aku bisa melihat air mata dia meleleh dari kedua matanya.
Seumur hidupku baru kali ini aku melihat seorang laki2 berlinangan air
mata karena aku, tak terasa akupun tak kuasa menahan airmataku meleleh
dipipiku. Aku yakin aku sudah mendapatkan 'Soulmate' ku dan akan aku
pertahankan sampai kapanpun dan dengan cara apapun.

Di kantor kami tetap bekerja seperti biasa, seperti tak ada hubungan suatu
apapun. Tetapi diluar kantor kami benar2 sepasang kekasih yg lagi jatuh
cinta, dia mulai mengajariku shalat, dan sedikit2 bacaan doa. Dia memang
benar2 lelaki yg taat, dia menjaga kesopananku, tak pernah melebihi batas,
walau kadang aku yg menggoda, tapi dia selalu bilang, sabar..tunggu
tanggal mainnya. Tapi serapat apapun kami tutupi hubungan kami, akhirnya
sedikit demi sedikit bocor juga oleh orang2 kantor kami. Sampai akhirnya
terdengar di telinga papaku.

Suatu hari tiba2 papaku datang ke ruanganku, padahal papaku amat sangat
jarang datang ke ruang kerja ku, kalau ada keperluan biasanya aku yg
dipanggil menghadap. Aku lalu diajak bicara berdua dengan beliau. Mula2
papa tidak menanyakan hubungan ku dengan Fariz, tapi sedikit demi sedikit
dia mulai mengarahkan pembicaraan ke arah sana . Sampai akhirnya dia
menanyakan kebenaran hubungan ku dengan Mas Fariz. Aku tak sanggup
menjawab, wajahku tertunduk. Papaku terus menatapku, menunggu jawabanku.
Aku tak sanggup berbohong, kalau aku bilang tidak, itu bertolak belakang
dengan hati ku, sebaliknya kalau aku bilang iya, aku khawatir kerjaan Mas
Fariz akan manjadi taruhannya. Akhirnya aku hanya bisa menangis....

Keesokan harinya, Mas Fariz tidak hadir lagi dikantor, menurut orang2
kantor, dia dipindahkan kembali ke pulau Jawa mulai hari ini, dan aku
mulai kehilangan kontak dengan dia.

Seminggu kemudian dia menelpon ku, dia cerita panjang lebar, bahwa pada
hari itu, setelah papa menemui ku, ternyata papa langsung menemui dia,dan
keesokan paginya dia sudah harus kembali ke kantor yg lama. Dia juga
cerita kalau keadaan makin parah, karena nyaris tiap karyawan dikantornya
sudah mendengar kabar hubungan dia dengan aku. Dan banyak yang
menggunjingkan kalau mas Fariz, mengincar harta dan kedudukan, karena
berpacaran dengan anak pemilik perusahaan. Dia sampai berulang kali
menyebut nama Allah, dan bersumpah kalau dia mencintaiku bukan karena itu semua.

Dua minggu kemudian, dia memutuskan mengundurkan diri dari perusaan kami,
tapi kami tetap saling berhubungan melalui telp. Dia berjanji mencoba
mancari pekerjaan di perusahaan lain yg punya cabang di kotaku, sehingga
bisa bekerja dikotaku dan kembali menemui ku. Tuhan memang sudah
berencana, akhirnya 3 bulan kemudian mas Fariz sudah mendapat pekerjaan
dan di tempatkan kembali di kotaku walau dengan gaji yang jauh lebih
kecil. Dia bilang sekarang sudah bebas berhubungan dengan ku, dia tidak
ada ikatan apa2 dengan perusahaan ku. Tak ada yg bisa melarang. Aku amat
terharu, dia korbankan karir pekerjaannya karena aku. Aku berjanji apapun
yg terjadi aku tak akan tinggalkan dia.

Sekarang kami bebas behubungan tak perduli lagi dengan omongan orang2
kantor, karena dia toh tak lagi bekerja di perusahaan kami ini. Tapi
ternyata papa kembali mengetahui ini, dan kali ini malahan mama ikut turun
tangan. Aku diceramahi habis2an..

Mereka sebenarnya tidak membeda2kan ras, mereka tidak keberatan aku
berhubungan dgn siapapun, tapi mereka mulai curiga kalau aku mulai akan
pindah keyakinan. Dan itu mereka kurang bisa menerima. Aku sudah jelaskan
baik2 bahwa aku sudah cukup dewasa dan bisa mengambil keputusan buat
hidupku sendiri tanpa tergantung papa dan mama. Ternyata jawabanku yg
demikian itu membuat mereka tambah murka dan tersinggung. Mereka katakan
bahwa tanpa mereka jalan hidupku tidak akan seperti ini. Banyak orang yg
akan rela mati demi merasakan hidup seperti ku. Rumah mewah, sopir
tersedia tiap saat, mobil mewah ada di garasi, uang melimpah, dihormati
kemana aja pergi, dll. Mereka juga katakan, tanpa mereka aku tak akan
pernah sanggup memperoleh kehidupan spt ini. Aku hanya menangis mendengar
apa yg mama papa ku katakan. Tapi hatiku sudah bulat apapun yg terjadi aku
tak akan tinggalkan Mas Fariz. Cinta pertamaku dan terakhir.

Walau orang tua ku terus menentang, cintaku ke mas Fariz tak pernah surut.
Akupun makin giat memperdalam agama Islam. Seringkali aku saat istirahat
kantor, aku pergi ke toko buku besar di Mal. Aku baca2 buku tentang Islam.
Pernah aku ajak orang kantor untuk ikut aku ke toko buku tsb. Dan dia
tegur aku, karena dia pikir aku salah memilih bagian rak buku. Dia
ingatkan aku kalau aku di bagian rak buku2 Islam. Aku bilang memang benar,
aku mau membaca buku2 tentang Islam.

Makin hari hubunganku dengan papa mama makin renggang. Padahal aku sudah
bicara sebaik mungkin dengan mereka. Kakak2ku semuanya juga sudah
terprovokasi. Mereka mulai menjauhiku. Kedua kakak laki2 ku sudah menikah
dan menetap di Jakarta menjalankan perusaahan kami disana, sehingga papa
dan mama sekarang lebih banyak menetap dikota kami.

Dirumah, perlakuan mereka makin hari makin berubah terhadap ku. Aku makin
dianggap bukan lagi bagian keluarga mereka. Tiap makan malam, mereka tak
lagi mengajakku makan bersama2 di meja makan. Pembantu dirumah baru
disuruh memanggilku untuk makan apabila papa mama dan kakak perempuanku
sudah selasai makan, dan makanan yg ada dimeja makan, sisa mereka, yg aku
makan. Pembantu tidak diperbolehkan menambah makanan. Bayangkan, aku
memakan seadanya sisa dari mereka. Andai mereka makan ayam, maka aku hanya
tinggal kebagian ceker dan kepalanya saja. Bisa dibayangkan bagaimana
sakit hatiku rasanya. Tapi aku tetap bersabar, dan mas Fariz selalu
mengingatkan aku untuk tetap berbakti pada orang tua. Padahal kalau aku
mau, bisa saja aku pergi ke restoran yg paling mahal di kota ku ini.

Puncak dari semua itu terjadi pada suatu malam.

Kakak perempuanku memang sebenarnya kasihan kepadaku, sehingga kadang dia
menyimpan sebagaian makanan yg baru dimasak didapur. Sehingga pada saat
mama papa selesai makan, dia diam2 menghidangkan untukku. Suatu ketika
secara tak terduga, papa mama ku kembali ke meja makan, dan mereka
memergoki kakak ku yg membawa makanan yg dia simpan di dapur untukku.
Langsung mamaku merebut piring yg dibawa kakakku, dan melemparkannya ke
lantai..Sambil menyindir, bahwa kakakku tak perlu kasihan pada ku, karena
aku sanggup hidup tanpa diberi makan dari mama papa dan bisa hidup mandiri
tanpa mereka. Ohh....Mereka rupanya sudah amat membenciku.. .Hancur
berkeping2 hatiku pada saat itu. Aku hanya bisa menangis, tapi aku tak
menyesal, dan aku akan terus bertahan dengan pilihan hidupku.

Mas Fariz, menyarankan aku untuk bicara baik2 dengan mama dan papa,
mudah2an mereka akan luluh dan mengerti. Suatu malam, aku berkesempatan
mendatangi dan berbicara dengan mereka, dan aku secara baik2 dan sopan,
tak lupa meminta maaf apabila aku salah pada mereka. Aku jelaskan baik2
pada mereka apa yg hatiku rasakan, aku tumpahkan semuanya. Tetapi justru
itu membuat mereka tambah murka, mereka juga malah menuduhku telah
diguna2, dan menyarankanku supaya sadar. Oh Ya Allah...Aku sehat wal
afiat, Insya Allah saat itu tak ada satupun guna2 pada diriku. Semua
keinginanku adalah murni dari hatiku, panggilan jiwaku, yg tak bisa lagi
aku cegah. Aku jelaskan pada mama dan papa, bahwa aku sudah cukup umur,
dan bukan lagi gadis remaja lagi, sehingga apapun keputusanku, aku bisa
pertanggungjawabkan . Aku bisa mandiri andai keputusan hidupku itu memang
menghendaki demikian. Papa dan mamaku tetap pada pendirian mereka, bahkan
mereka menantangku, kalau sanggup hidup mandiri, sekarang juga serahkan
seluruh harta ku yg aku punya selama ini, yg aku dapat selama hidup dengan
mereka.

Karena tekatku sudah bulat. Malam itu pula seluruh kartu credit, ATM,
buku2 bank, aku serahkan pada mereka. Uang yg aku punya benar2 hanya
tinggal yang ada di dompetku. Aku sepertinya tinggal menunggu waktu sajauntuk
meninggalkan rumah ini. Keesokan paginya, karena ada suatu keperluan aku
ingin membuka lemari besi tempat penyimpanan surat2 berharga di rumah
kami. Tetapi berulang kali aku mencoba, aku tak bisa membukanya. Ternyata
nomor kombinasinya sudah diubah oleh mama papaku. Padahal didalamnya ada
barang2 penting pribadiku, seperti Ijasah, perhiasan, dll. Aku mencoba
menelpon papaku, menanyakan hal ini, dan lagi2 aku mandapatkan jawaban yg
menyedihkan hatiku. Papaku menyindirku, kalau sanggup hidup mandiri,
kenapa masih mau membuka lemari besi milik keluarga, pasti ada barang2 yg
mau dijual didalamnya. Aku benar2 sudah dikucilkan, dan mereka benar2
mencoba menyiksaku dengan cara demikian, sehingga mereka pikir aku akan
menyerah, dan akhirnya mengikuti apa yg mereka mau. Aku adukan semua itu
ke mas Fariz, dan aku katakan kalau aku akan meninggalkan rumah orang tua
ku. Dia tak bisa berkata apa2. Hanya ingatkan aku jangan sampai memutus
silaturahmi dengan orang tua.

Saudara2 ku..

Beberapa hari setelah kejadian itu, aku benar2 meninggalkan rumah. Aku
akan tinggal kost didekat kantorku. Aku berpamitan baik2 pada mama dan
papa ku. Tapi mereka menolehpun tidak. Aku masih punya cukup uang di
dompet. Aku bersumpah tak akan meminta uang lagi sepeserpun dari mereka.
Aku bertekad membuktikan kata2 ku untuk hidup mandiri tanpa harta siapapun
demi mempertahankan keyakinan ku. Selama aku bekerja diperusahaan
papaku, memang secara formal aku di gaji sesuai dengan posisi kerjaku di
perusahaan.Tapi disamping itu tiap bulan, tentu diluar formal perusahaan,
aku mendapat uang saku dari papa ku yg lumayan banyak, hampir 20x lipat
dari gaji resmiku. Sehingga penghasilan total sebulan bisa cukup untuk
hidup mewah setahun. Bahkan seluruh uang simpananku di bank, sudah
mencapai 10 digit. Tentu bukan jumlah sedikit. Bahkan mungkin cukup
untuk biaya hidup seumur hidupku tanpa bekerja.

Aku berharap perusahaan papaku masih memberikan gajiku, dan itu aku
anggap memang uang hasil kerjaku, bukan pemberian. Tapi diakhir bulan aku tak
memperoleh sepeserpun. Aku sudah meminta agar bisa diberikan cash.
Ketika aku tanyakan ke bagian pembayaran gaji, ternyata mereka sudah
diperintahkan papaku untuk menahan gajiku. Ya Allah, mereka benar2
melakukan cara apapun agar aku benar2 menderita dan pada akhirnya
menyerah.

Saat itu juga aku langsung mengundurkan diri dari perusahaan papaku itu.
Aku tinggalkan perusahaan itu selama2nya.

Ketika aku adukan hal ini pada mas Fariz dia amat sangat sedih dan
meminta maaf padaku, karena gara2 dia hidupku jadi menderita. Dia rela andai
aku tidak kuat dan merubah keputusan. Aku peluk dia, dan aku pastikan
keputusanku tak akan berubah, dan aku makin ingin bisa hidup bersama dia.
Saat itu hanya dialah sandaran hidupku. Dengan berlinangan air mata, dia
sekali lagi menanyakan padaku, apakah aku menyesal dengan keputusanku,
dan apakan aku rela bila menjadi muslimah dan menjadi istrinya. Saat itu
juga aku cium tangannya, dan aku katakan, aku korbankan seluruh kehidupanku
hanya untuk bisa hidup bersamanya, dan aku tak akan mudur ataupun
menyesalinya, apapun yg terjadi aku akan hadapi iklas lahir dan batin.

Singkat cerita, dengan diantar mas Fariz aku mengucapkan 2 kalimah
syahadat di sebuah masjid dikota kami, disaksikan imam dan beberapa jemaah
masjid tsb. Akhirnya penantian panjangku tercapai sudah, walau harus
mengorbankan kehidupanku. Tapi aku tak pernah menyesali. Mas Fariz lalu
mengajakku segera menikah di kota kelahirannya, karena kebetulan
perusahaan tempat dia bekerja akan memindahkan dia ke pulau Jawa.

Sebelum menikah, kami berdua mendatangi rumah papa dan mama, kami akan
mohon restu baik2 pada mereka. Tetapi bapak satpam yg berjaga dipintu
gerbang mengatakan kalau dia diperintahkan untuk tidak membuka pintu
apabila kami berdua datang. Sebenarnya bapak satpam tersebut bersedia
membuka pintu karena dia masih mengenalku. Tapi aku melarangnya, karena
khawatir akan mencelakakan pekerjaan dia. Biarlah cukup aku saja yg
menderita, aku tak ingin orang lain ikut terkena akibatnya. Aku tinggalkan
secarik surat , yg isinya memohon doa restu dari mama papa, bahwa aku
akan menikah dengan mas Fariz, juga aku katakan kalau aku sudah jadi muslimah.
Aku bisa lihat mata bapak satpam itu berkaca2 sewaktu aku katakan aku
sudah jadi mualaf.

Awalnya keluarga mas Fariz menanyakan ketidakhadiran keluargaku di
pernikahan kami. Tapi setelelah mas Fariz ceritakan panjang lebar,
akhirnya keluarga mau memahami. Kami menikah secara sederhana di kota
tempat keluarga mas Fariz bermukim. Keluarganya amat sangat menerimaku
dengan hangat, mereka sama sekali tidak mempermasalahkan ras keturunanku.
Malah ibu mertuaku amat sayang padaku.

Setelah menikah, aku dan mas Fariz menetap di pulau Jawa. Aku amat sangat
bahagia, bisa menjadi pendamping hidup dia. Aku merasakan dia bukan
sekedar suami, tapi memang benar2 soulmate hidupku, yg aku cari2sepanjang
hidupku.

Aku hidup dirumah yg sederhana dan hari2ku aku lalui dengan penuh
kebahagiaan, dan aku tak mengeluh sedikitpun dengan yg mas Fariz berikan
untukku. Aku tak lagi bekerja, karena aku benar2 ingin mengabdi pada
suamiku, dan disamping itu semua ijasahku masih tersimpan di lemari besi
di rumah mama papa, aku tak bisa melamar pekerjaan dimanapun. Aku jugatak
mau meminta surat keterangan bekerja di perusahaan papaku. Aku ingin
buktikan bisa hidup mandiri dengan suamiku. Mas Fariz amat sangat
menyayangiku, tiap pagi sebelum berangkat ke kantor dia memeluku. Tiap
hari aku bawakan dia 'lunch box' untuk makan siang karena aku tak mau
makanan yg masuk ke perutnya berasal dari masakan orang lain. Aku benar2
posesif, ingin memiliki dan melayani dia secara total. Setiap hari aku
bangun sebelum dia bangun, dan aku baru tidur setelah dia benar2 tidur,
untuk memastikan dia sudah benar2 tak perlu aku layani lagi. Aku siapkan
celana, baju, kaus kaki dia tiap pagi sebelum berangkat kerja. Sehingga
dia tak perlu lagi memikirkan pakaian apa yg harus dia pakai tiap pagi.
Bahkan aku potongkan kukunya bila sudah panjang Pokoknya dia benar2 aku
jadikan pangeran bagi diriku.

Tiap malam sebelum tidur, kami selalu mengobrol dan saling mengajarkan
bahasa. Dia mengajariku bahasa jawa, sadangkan aku mengajari dia bahasa
mandarin. Dia amat cepat belajar mandarin, dalam waktu singkat dia sudah
menguasai beberapa kata2 yg umum diucapkan, kadang dia mengajak ku bicara
mandarin dirumah. Memang perusahaan tempat dia bekerja milik keluarga
dari etnis keturuan seperti aku, dan banyak behubungan dengan warga
keturunan, sehingga bila mampu berbahasa mereka akan merupakan keuntungan
tambahan.

Suatu ketika dia pulang membawa sepeda motor, dia katakan kalau kantornya
memberinya pinjaman cicilan motor. Memang hanya sepeda motor, tapi aku
sangat bahagia sekali dengan yg dia dapatkan. Berulangkali dia minta maaf
tidak bisa belikan aku mobil mewah seperti yg aku pernah aku miliki dulu.
Aku katakan pd dia motor yg sekarang kita miliki bagiku jauh lebih mewah
dari mobil yg dulu aku miliki. Karena motor ini bukan sekedar dibeli
dengan uang, tapi juga cinta, yg tak akan ternilai berapapun banyaknya uang.

Kehidupan perkawian kami amat indah, kalau dirumah nyaris kami tak bisa
berjauan. Karena tiap hari bagi kami adalah bulan madu, maka hanya setahun
kemudian lahirlah anak pertama (dan satu2nya) kami. Bayi laki2 itu kami
namai, sebut saja 'Faisal'. Mas Fariz yg membacakan Azan dan qomat,ketika
bayi kami lahir. Aku merasa lengkap sudah kebahagiaanku. Tiap hari aku
tambah bahagia bisa merasakan ada 2 orang "Fariz" didalam rumahku. Saat
mas Fariz ke kantor, aku di temani Fariz kecil, bayiku. Oh alangkah
bahagianya. Aku mencintai 2 orang yg sama darah dagingnya.

Tiga tahun sudah anak kami hadir bersama kami. Mas Fariz terus bercita2
ingin mendatangi orangtua ku, oma opa si Faisal. Dia benar2 ingin
memperkenalkan cucu mereka dan menyatukan aku dengan papa mama ku lagi.
Dia berharap dengan kehadiran Faisal, akan meluluhkan hati orang tuaku.
Tapi tiap kali aku menelpon papa mama ku masih bersikap seperti dulu,
bahkan waktu aku katakan bahwa mereka sudah mempunyai cucu dari ku,
mereka
hanya menjawab, kalau mereka tidak merasa mempunyai keturunan dari
ku..Ohh
malangnya anakku. Aku amat sedih, teganya papa dan mama ku berkata spt
itu. Aku masih memaklumi apabila mereka membenciku, tapi jangan pada
anakku, cucu mereka, darah daging mereka sendiri.

Mas Fariz hanya menyuruhku bersabar, dia percaya kelak papa dan mama
akan
menerima mereka. Tapi sebelum harapan mas Fariz terpenuhi, musibah
mulai
datang....

Suatu ketika, mas Fariz pulang kerumah lebih awal, dia cuma merasa gak
enak badan seperti orang masuk angin. Aku menyuruhnya segera istirahat
dan
tidur, dan memberi obat penghilang sakit. Malam harinya, tubuhnya mulai
panas dan menggigil. Keesokan paginya aku mengantar dia ke dokter,
waktu
itu dokter hanya katakan kalau mas Fariz hanya demam biasa sehingga
hanya
diberi obat penurun panas, dan disuruh istirahat. Tapi malamnya tubuh
nya
tetap panas, dan menggigil, bahkan sampai mengigau. Aku sudah ajak mas
Fariz untuk ke rumah sakit keesokan harinya. Tapi dia menolak, karena
dia
bilang hanya demam biasa, dan tak apapa, beberapa hari pasti sembuh.
Sampai hari ke empat kondisinya makin parah, akhirnya disampai tak
sadarkan diri, bahkan dari hidungnya kaluar darah. Dengan pertolongan
para
tetangga, suamiku segera dibawa ke RS. Hasil pemeriksaan daranhnya
menunjukan trombositnya hanya tinggal 26ribu. Padahal orang normal
harus
diatas 150rb. Suamiku terkena demam berdarah, Dokter menyalahkan aku
kenapa tidak segera dibawa ke RS lebih awal, karena serangan terberat
demam berdarah adalah pada hari 5. Kalau kondisi tubuh tidak kuat, bisa
amat berbahaya. Besoknya, hari ke 5, memang benar2 makin parah kondisi
suamiku, napasnya makin berat, trombositnya belum beranjak naik,
tubuhnya
udah benar2 digerogoti penyakit itu, malam itu setengah mengigau, dia
memanggil namaku, lalu aku genggam tangannya dan aku dekati telingaku
ke
mulutnya, aku bisa dengarkan dia mencoba mengucapkan sesuatu, dan air
matanya meleleh. Dia coba ucapkan kata2 "Maafkan aku" lalu aku
tenangkan
dia, kalau tak ada yg perlu dimaafkan. Aku iklas lahir bathin
mendampingi
dia. Setelah mendengar kata2ku, dia tampak tenang, lalu dengan satu
tarikan napas dia coba mengucapkan "Lailahailallah" lalu dia pergi
selama2nya meninggalkan aku. Dia pergi di pelukan ku. Aku ingat suatu
ketika dia pernah berucap, andai Tuhan mengijinkan, dia ingin meninggal
terlebih dahulu dari aku, dan dalam pelukanku, sebab ia ingin aku
menjadi
orang terakhir dalam hidupnya yg dia lihat. Aku sempat memarahi dia,
jangan bilang seperti itu. Tapi dia bilang serius, kalau dia gak akan
sanggup kalau aku yg meninggalkan dia terlebih dahulu. Ternyata Tuhan
benar2 mengabulkan permohonan dia. Orang yg aku jadikan sandaran
satu2nya
dalam hidup ini telah pergi selama2nya. Tak terkirakan amat sedih dan
hancurnya hatiku. Andai aku tak ingat dengan si kecil Faisal, mungkin
aku
sudah ingin segera mengusul mas Fariz dialam sana .

Mas Fariz benar2 orang yg jujur dan baik, waktu penguburan seluruh
rekan2
kerja, bahkan big boss tempat bekerja hadir. Waktu aku tanyakan apakah
ada
hutang piutang mas Fariz yg harus aku selesaikan. Mereka katakan tidak
ada
sama sekali, bahkan kantornya memberikan santunan 4x gaji, ditambah
uang
duka dari rekan2nya. Aku juga ditawarkan bekerja di perusahaan tsb.
Tapi
untuk saat itu aku benar2 gak sanggup melakukan apapun. Aku merasa
setengah dari nyawaku sudah hilang. Selama 3 bulan aku berduka, aku tak
sanggup pergi dan melakukan apapun. Bahkan tiap tidur, aku masih
membayangkan mas Fariz disampingku. Akhirnya untuk semantara waktu aku
tinggal dengan ibu mertuaku, supaya Faisal ada yg mengasuh. Rumah dan
motor aku jual, karena aku tak sanggup membayangkan kenangan bersama
mas
Fariz tiap aku melihatnya. Hampir setengah tahun tinggal dengan mertuaku, sampai
akhirnya aku putuskan kembali ke kota asalku. Sebenarnya ibu mertuaku amat baik
dan sayang padaku. Tapi aku tahu diri gak mungkin selamanya bergantung pada
siapapun. Aku harus bisa mandiri, membesarkan anakku, satu2nya hartaku yg
tersisa.

Aku pulang ke kota asalku dengan sisa uang yg aku punya. Lalu aku
mengontrak rumah, dan membuka toko kecil2an di depannya. Tetapi mungkin
karena aku masih terus berduka dan terbayang suamiku, sehingga aku
kadang
kurang memikirkan usahaku ini, sampai akhirnya usahaku ini bangkrut.
Tokokupun aku tutup, uangku habis untuk membayar tagihan2 para suplier
barang, semantara penjualanku tak seberapa menguntungkan.

Aku sebenarnya tidak pernah putus asa, apapun aku jalani asal halal.
Pernah aku coba jadi pelayan restoran, tapi hanya beberapa bulan,
karena anakku tak ada yg jaga. Sampai akhirnya aku benar2 kehabisan uang, tak
sanggup lagi membayar kontrakan. Dengan membawa koper isi pakaian, aku
menggendong anakku, berjalan tanpa tujuan. Aku benar2 bingung akan
kemana.
Pernah terlintas di benakku untuk kembali ke keluargaku. Tapi justru
dengan kondisi seperti ini mereka pasti akan merasa menang. Mereka akan
tertawa terbahak2 dan terus bisa mengejek ku seumur hidupku, bahwa aku
gagal dalam memilih jalan hidup. Akhirnya ditengah rasa putus asa, aku
teringat masjid tempat dulu aku pertama kali mengucapkan kalimat
sahadat.
Masjid itu memang bukan masjid raya dikota kami, tapi karena masjid yg
tua
dan bersejarah, maka banyak jemaah yg datang. Aku berpikir, dulu aku
memulai jalan hidupku dari masjid itu, sehingga kalaupun jalan hidupku
berakhir aku ingin di masjid itu pula. Aku datangi masjid tsb. Dan aku
shalat mohon petunjuk. Anakku karena kelelahan tertidur di sampingku.
Aku tak punya uang untuk membeli makanan. Akhirnya aku hanya bisa menangis.
Rupanya tangisku didengar oleh seorang bapak, dan beliau rupanya imam
masjid tersebut, dan dia yg dulu membimbingku membaca syahadat. Aku tak
lupa dengan wajahnya, tetapi dia pasti sudah tak ingat dengan wajahku,
karena wajahku tak sesegar dulu lagi. Sewaktu aku perkenalkan diriku
dan aku katakan bahwa aku dulu mualaf yg beliau bimbing, dia langsung ingat
tapi juga kaget dengan kondisiku yg seperti ini.

Akhirnya aku ceritakan semuanya pada beliau, sebab aku merasa tak ada
lagi orang di dunia ini yg aku jadikan sandaran hidupku.

Setelah selesai mendengar ceritaku, dia menyuruh aku agar jangan pergi
kemana2, dan tetap tinggal di masjid, beliau juga menyuruh salah
seorang
jemaah untuk membelikan makanan untuk aku dan anakku. Sebentar kemudian
dia pergi meninggalkan ku, sambil berpesan akan segera kembali
menemuiku (rupanya dia pergi mencari tempat untuk aku bisa tinggali). Tak lama
beliau kembali menemui ku, sambil tersenyum dia katakan, mulai malam
ini aku sudah memperoleh tempat tinggal. Aku diajak ke belakang masjid,
disitu ada sebuah bagunan tambahan yg terdiri dari beberapa ruangan. Biasanya
ruangan itu untuk gudang menyimpan peralatan masjid, seperti tikar,
kursi2, dll. Salah satu ruangnya tampak sudah kosong, dan dia menunjuk
bahwa itu lah rumah ku. Aku boleh menempatinya selama mungkin aku mau.
Ruang disebelahnya ditempati olah pak tua penjaga masjid, sehingga aku ada
yg menemani. Ruangan tsb hanya berukuran kurang lebih 2x2m. Pak Imam
masjid itu juga menambahkan, kalau nanti aku diberikan honor
sekedarnya,
kalau mau membantu2 membersikan masjid, sehingga cukup untuk makan.
Bahkan beliau menambahkan kalau aku bisa datang kerumahnya sekedar2 membantu2
istrinya memasak, kerena memang rumah beliau hanya beberapa ratus meter
dari masjid.

Alhamdulilah, aku amat bersyukur ternyata Allah mendengar doaku. Aku
ingat, bahwa Allah tak akan menguji hambanya dengan melebihi beban yg
sanggup dia pikul. Aku sudah bersyukur bisa memperoleh tempat berteduh,
walau hanya kamarnya kecil (jauh lebih kecil dibanding kamar mandiku,
saat
dirumah orang tuaku). Ada lagi yg membuatku merasa tenang, karena ku
tinggal berdekatan dengan rumah Allah, tiap aku merasa sedih, aku tinggal
masuk kedalam masjid, dan mengadukan langsung pada Allah. Karena tinggal
dekat dgn masjid, otomatis shalatku tak terlewatkan sekalipun.
Alhamdulilah hidupku sedikit2 demi sedikit mulai tenang. Aku sering
membantu istri pak Iman memasak dirumahnya, dan sebagai imbalannya,beliau
selalu membekali makanan untuk aku bawa pulang. Sehingga aku tak perlu
risau memikirkan makanan sehari2. Kalau pak Imam sekeluarga ada keperluan
keluar kota , akulah yang dititipi untuk menjaga rumahnya, dan aku bisatinggal
dirumahnya. Sebenarnya mereka sudah menawarkan aku untuk tinggal bersama
mereka. Tapi aku tahu diri tak mau terus menerus merepotkan orang lain.

Pekerjaanku rutinku tiap hari adalah, membersihkan halaman masjid,
membersihkan kaca2 jendela, Sedangkan pak tua mengepel lantai masjid.
Tiap minggu aku mendapakan honor sekedarnya dari hasil kotak amal di masjid,
tapi kadang aku tak mendapatkan sepeserpun, karena kadang sudah habis
untuk keperluan masjid, tapi aku lakukan itu dengan senang hati dan iklas.
Sementara ini aku benar2 ingin mengabdi pada Masjid ini, sebagai tanda
terimakasih ku. Aku tak mau bersusah payah kesana kemari mencari
pekerjaan, Aku percaya kelak masjid ini pula yang akan memberiku jalan
memperoleh pekerjaan.

Kadang malam hari aku duduk2 diteras masjid, mengobrol dengan pak tua.
Dia bercerita kalau anak2nya masih ada di kampung, tapi dia juga tak mau
merepotkan anak2nya. Selama masih kuat, dia tak mau merepotkan orang
lain.
Lalu saat giliran aku cerita, kadang aku bingung harus cerita apa..???
Apa aku ceritakan kalau dulu aku pernah naik kapal pesiar keliling eropa,
atau aku pernah menginap di hotel mewah di las vegas , atau aku punya
apartment mewah di Australia ..Ahh pasti dia akan tertawa dan menganggap aku
berhayal, sebab jangankan tinggal dihotel, sekarang ini uang yg aku
punya tak lebih banyak dari 20ribu..

Dulu tiap minggu aku bisa membeli peralatan make up, eye shadow,
lipstick, dll jutaan rupiah. Sekarang ini make up ku hanyalah air wudhu ku tiap
aku shalat. Tetapi justru banyak yang mengatakan kalau wajahku tetap
bersih, cantik, alami. Kadang orang berpikir aku masih memakai make up.
Yah..mungkin Allah yang memakaikan make up untuk ku. Kecantikan datang
dari dalam. Inner Beauty. Banyak yg bilang, dengan mata sipit ku
dibalik kerudung, aku terlihat cantik.

Tak terasa aku sudah hampir 2 tahun menetap di masjid itu, anakku sudah
sekolah di SD dekat masjid milik suatu yayasan dan tanpa membayar
sepeserpun. Aku hanya membelikan seragam dan alat2 sekolah. Bahagianya
hatiku melihat anakku sudah masuk sekolah..oh, seandainya mas Fariz
masih ada dan melihat anak kita dihari pertama pergi ke sekolah.. Anakku
rupanya tumbuh besar dalam keprihatinan, sehingga dia sangat tahu diri, dia tak
pernah sekalipun merengek2 minta dibelikan ini itu seperti layaknya
anak2 lain. Pernah hatiku amat terenyuh. Ketika dia pulang sekolah dengan
kaki telanjang, sambil menenteng2 sepatunya. Sambil tertawa, tanpa mengeluh,
dia malah menunjukan sepatunya kepadaku "Ma, sepatu Faisal udah minta
makan". Maksudnya sepatunya udah robek depannya, seperti mulut minta
makan. Melihat dia tertawa, akupun ikutan tertawa, walau hatiku rasanya
ingin menangis. Andai dia tahu, dulu mamanya selalu memakai sepatu
berharga jutaan rupiah, sekarang ini membelikan sepatu anaku yg murahpun
aku belum sanggup. Alhasil selama 2 hari anakku kesekolah memakai
sepatu yg robek itu, sampai akhirnya aku belikan sepatu bekas. yg lebih layak
dipakai. Aku bersyukur mempunyai anak yg amat tahu diri. Tak mau
membebani ibunya. Memang anak yg shaleh akan menjadi bekal yg amat bernilai buat
orang tua. Pak Imam masjid kadang menengok kami, dan menanyakan keadaan
kami. Dia sering cerita, gimana istri nabi Muhammad dulu hidupnya jauh
lebih menderita, tetapi tetap tabah menghadapi cobaan dan tak goyah
keimanannya. Beliau kadang bilang, kalau aku pasti akan jadi ahli surga.
Berulangkali dia bilang, kalau orang lain gak akan mungkin sanggup
menghadapi cobaan ini, tapi aku tetap bertahan memegang keyakinan,
meninggalkan kenikmatan dunia yg justru pernah aku peroleh.

Suatu siang, aku melihat ada mobil datang ke halaman masjid, dari dalam
mobil itu keluar 2 orang yg aku masih kenal. Yang satu perempuan
bernama
tante Grace, yg satunya lagi laki2 oom Albert. Mereka berdua merupakan
lawyer untuk perusahaan dan keluarga kami. Entah gimana mereka bisa
mengetahui aku ada disini. Mereka membawa sebundel amplop, dan mengajak
aku berbicara. Aku bisa lihat mata tante Grace yg memerah menahan air
mata
sewaktu dia melihat tempat aku tinggal. Bahkan oom Albert suaranya
bergetar seperti lehernya tersekat menahan sedih. Mereka katakan diutus
oleh orang tua kami. Karena orang tua kami sudah tahu gimana keadaan ku
sekarang. Mereka katakan didalam amplop yg mereka pegang isinya surat2
bank, ATM, Ijasahku, yg bisa aku miliki lagi. Bahkan aku dijemput untuk
pulang ke rumah mama papa ku. Sejenak aku berbahagia, aku pikir orang
tuaku sudah terbuka hatinya, aku bisa pergunakan uang yg cukup banyak
itu
untuk hidup yg lebih baik dgn anakku. Tetapi dengan suara terpatah2 om
Albert melanjutkan, bahwa mama dan papa memberi syarat. Ketika aku tanyakan
apa syaratnya. Mereka berdua nyaris tak sanggup melanjutkan pembicaraan.
Tante Grace makin menunduk menahan tangis. Akhirnya om Albert mengatakan
kalau syaratnya aku dan anakku harus kembali ke keyakinan yg dulu aku anut.
Saat itu juga aku langsung menjawab, kalau aku tak akan mau menerima amplop
itu, dan aku katakan agar kembalikan ke orang tuaku. Mereka amat sangat
minta maaf padaku, karena mereka tahu aku tersinggung. Tapi aku juga
sadar mereka hanya menjalankan tugas. Bahkan tante Grace menambahkan, andai
mengikuti hati nurani pasti mereka udah serahkan itu amplop pada ku
tanpa syarat apapun, tapi mereka terikat profesi mereka.

Akhirnya mereka pamit meninggalkan ku. Tapi beberapa saat kemudian
mereka balik kembali menemui ku, aku pikir mereka akan membujukku. Tapi
rupanya mereka berinisiatif memfoto copy ijasah2 ku dan menyerahkan copynya ke
aku. Mereka lakukan atas inisiatif mereka sendiri, walau dengar resiko
kehilangan pekerjaan. Mereka katakan hanya itu yg bisa mereka bantu
untukku. Oh terima kasih Tuhan... Sedikit2 Tuhan memberikan jalan untuk
ku.

Akhirnya aku punya bukti kalau dulu aku pernah sekolah tinggi sampai di
luar negri.

Rupanya Tuhan sudah cukup mengujiku, dan sepertinya aku mulai diberikan
rewards atas ketabahanku selama ini. Tuhan mulai memberikan jalan yg
terang untuk ku.

Suatu pagi di halaman masjid tampak 2 orang perempuan yg sedang
mengamati bangunan masjid. Satunya seorang bule entah dari negri mana, sedangkan
satunya lagi perempuan lokal.

Kebetulan pak tua sedang di halaman, sehingga mereka menghampirinya,
masjid tsb memang unik, karena merupakan bangunan tua, dengan
arsitektur melayu kuno, sehingga kadang sering dikunjungi orang, dan biasanya pak
tua lah yg menjadi juru bicara, karena memang dia yg tahu sejarah masjid tsb.
Akupun banyak mendapat carita dari pak tua tentang masjid tsb sehingga
aku tahu banyak pula tentang sejarah masjid tsb.

Aku hanya perhatikan dari jauh, dua orang pengunjung itu ngobrol dengan
pak tua, sampai akhirnya aku lihat si bule agak kebingungan. Didorong rasa
ingin tahu, aku hampiri mereka. Dengan sopan aku perkenalkan diri, dan
menawarkan diri untuk membantu. Ternyata si bule itu adalah mahasiswi
arsitektur dari Australia yg sedang melakukan study, sedangkan
pendampingnya adalah mahasiswi arsitektur dari univ. T di kotaku yg
bertugas sebagai penterjemah, panggil saja 'Retno'. Rupanya si mahasiswi
lokal tsb kurang lancar bahasa Inggrisnya sehingga membuat si bule kadang
kebingungan mendengar terjemahan cerita dari pak tua. Dengan sopan pula
aku ajukan diri untuk membantu sibule itu. Dengan bahasa inggrisku yg
sangat lancar aku ceritakan dari awal sampai akhir semua tentang masjid
tsb. Aku ajak pula berkeliling ke tiap sudut masjid. Si bule tambah takjub
ketika aku katakan pernah study di negrinya. Retno terus memandangiku
setengah tidak percaya tentang diriku. Setelah puas mendapatkan informasi,
sebelum pulang Retno berjanji akan menemui ku kembali segera, ada yg ingin
dia tanyakan lebih banyak ttg diriku katanya. Aku dengan senang hati akan
menerima kedatangannya kapan saja.

Beberapa hari kemudian Retno memang benar2 kembali datang menemuiku,
kali ini dia sama sekali tidak membicarakan perihal arsitektur masjid. Tapi
tentang diriku. Dia amat ingin tahu tentang diriku, akhirnya aku ceritakan
dari awal sampai saat ini perjalanan hidupku ini. Dia amat bersimpati dan
berkeinginan menolong ku. Walau aku tidak mengharapkan pertolong orang
lain, tapi aku hargai niatnya membantuku. Dia bilang dengan pendidikan ku
dan kemahiranku berbahasa asing, pasti aku akan dapatkan pekerjaan,
apalagi aku sekarang sudah mempunyai bukti fotocopy ijasah ku. Kira2
seminggu kemudian dia kembali datang kepadaku, dan menyuruhku membuat
surat lamaran, bahkan dia sendiri yg membawa kertasnya dan amplopnya.
Dia katakan di rektorat univ memerlukan beberapa tenaga honorer. Aku terharu
ada orang lain yg peduli mau membatuku tanpa pamrih, aku ucapkan banyak
terimakasih padanya. Bagiku dia seperti diutus Tuhan untuk menolongku.
Tak lama kemudian aku mendapat kabar gambira, aku dipanggil menghadap ke
rektorat universitasnya untuk test dan wawancara. Sebelum berangkat aku
shalat memohon kapada Allah agar diberikan kelancaran. Anakku aku titipkan
pak tua, yg memang sudah aku anggap sebagai orang tuaku sendiri.

Alhamdulilah semua test aku lalui dengan lancar, bahkan sewaktu
wawancara
bahasa Inggris, justru akulah yg lebih menguasai ketimbang yg
mewawancaraiku. Dia sampai menyerah, dan mengatakan bhs inggrisku udah
perfect melebihi kemampuan dia.

Tak sampai seminggu kemudian, Retno mendatangiku lagi, kali ini dia tampak
gembira sekali, dia katakan dalam beberapa hari aku akan mendapat surat
dari rektorat, yg isinya penerimaan aku sebagai karyawan. Dia bisa lebih
dulu tahu karena ada temannya yg bekerja disana. Langsung aku menuju
masjid dan bersujud sukur lama sekali. Aku merasa telah lulus segala test
yg diujikan Allah terhadapku. Memang kadangkala aku sering bertanya pada
Allah, apakah karena aku mualaf sehingga Allah kurang percaya dengan
keimananku, sehingga perlu mengujinya dengan ujian yg amat berat.

Walau sebagai karyawan honorer tapi aku sudah bersukur, yg penting aku
sudah memperoleh penghasilan yg layak. Kerjaanku membantu bagian keuangan
di rektorat, memang sesuai dengan ilmuku, tetapi mulai banyak orang yg
tahu kalau aku lulusan dari luar negri. Setiap ada seminar dan memerlukan
makalah dalam bahasa Inggris pasti aku yg diberikan tugas tambahan untuk
menyusunnya. Akupun banyak membantu menterjemahkan litelatur2 asing untuk
dipergunakan para mahasiswa. Nyaris sejak 3 tahun terakhir, aku tidak
pernah membeli baju baru. Dengan gajiku sekarang aku sudah bisa membeli
lagi. Aku amat sangat senang bukan main, bisa membelikan pakaian yang
bagus2 untuk anakku. Bahagia rasanya melihat anakku bisa aku berikan
pakain yg layak. Pakaian sekolahnya yg sudah menguning, sekarang sudah aku
belikan yg baru putih bersih, dan juga sepatu baru. Sepatunya yg dulu
robek, masih aku simpan sebagai kenangan.

Beberapa bulan kemudian aku sudah mampu mengontrak rumah sendiri, sebelum
aku meninggalkan masjid tsb tak lupa aku berpamitan kerumah pak Imam, aku
ucapkan banyak terimakasih atas pertolongannya, beliau katakan yg menolong
bukan dia tetapi Allah SWT yg menolongku. Aku peluk dia lama sekali, dan
aku katakan dahulu aku mengucapkan syahadat didepan dia, dan aku tak akan
pernah mengingkarinya seumur hidupku, apapun yg terjadi. Sebelum pergi,
aku sempat memandangi kamarku untuk terakhir kali, sempat beberapa menit
aku tertegun, membayangkan, mungkin kelak ruangan ini akan dipakai oleh
orang2 yg senasib seperti aku.....Aku berharap Semoga Allah memberi
kekuatan....

Setelah aku melewati segala cobaan, Tuhan tampaknya terus menerus
memberikan semacam rewards kepadaku, belum genap setahun aku bekerja,
pihak rektorat meberikan kabar, kalau statusku akan di tingkatkan menjadi
karyawan tetap, bahkan beberapa dosen senior sudah menawariku untuk
membantu mengajar. Memang rekan2 kerjaku mengatakan, kalau karirku
bakal amat bagus, karena orang dengan kemampuan sepertiku amat dibutuhkan.
Mereka bilang, kesuksesanku hanya menunggu waktu saja. Aku hanya bisa
mengucap puji syukur Alhamdulilah. Andai dulu aku sering berdoa dengan
linangan air mata kesedihan, sekarangpun aku masih sering menangis ketika
berdoa, tapi kali ini aku menangis bahagia.

Sampai saat ini aku masih sendirian, aku bertekad membesarkan anakku
sebaik2nya, bagiku aku masih merasa istri dari mas Fariz. Masih sulit
rasanya menggantikan dia dihatiku. Seperti yg aku pernah katakan, dia
bukan hanya suami, tetapi soulmate ku, dan tak tergantikan. Tetapi entah
kalau Allah mempunyai rencana lain untukku. Tiap memandang anakku, aku
seperti melihat mas Fariz. Seperti dia masih mendampingiku.

Alhamdulilah dengan penghasilanku sekarang ini aku kini bahkan sudah mampu
membeli sepeda motor untuk keperluan transportasiku. Kadang diakhir pekan
aku berboncengan dengan anakku jalan2 rekreasi. Kadangkala aku sengaja
lewat depan rumah orang tuaku, sambil aku katakan bahwa itulah rumah opa
dan oma. Sering anakku bertanya, "Ma kapan kita pergi main kerumah
oma-opa? " Aku tak bisa menjawab, karena menahan air mata...

Walaupun begitu aku terus berdoa, semoga suatu saat kelak, kedua
orangtuaku dibukakan pintu hatinya, kalaupun tidak mau menerima aku
lagi, mohon terima anakku, cucunya, darah daging mereka sendiri.

Wassalam,
Mawar.

Di ceritakan kembali oleh Retno (2508) Di Kota P

Sekedar Renungan bagi para orang tua

Jika masih tertahan kelopak mata ini untuk tetap terbuka hingga larut, atau
saat terjaga di pertengahan malam selalu saya sempatkan untuk menyambangi
kamar anak-anak. Saya hampiri dan tatap wajah mereka bergantian sambil
menghalau nyamuk yang hinggap di tubuh mereka. Wajah indah yang terlelap
itu menyibakkan kejujuran dalam hati, bahwa mereka hadir sebagai amanah yang harus dijaga sebaik-baiknya.

Mereka ada untuk dicinta.
Terbayanglah kekesalan yang hampir tercipta akibat perbuatan dan tingkah
nakal mau pun pembangkangan mereka siang tadi. Terlintaslah amarah yang
nyaris meluap saat mereka tak mendengar perintah mau pun ketika peraturan
terlanggar. Beruntung kekesalan itu hanya sempat mampir di kepala dan tak
sampai keluar makian kasar yang pasti akan melukai telinga mereka.
Bersyukur amarah ini tak sekali pun sempat membuat mereka melihat saya
seperti monster yang menakutkan.

Mereka hanya anak-anak yang sangat pantas dan bisa sangat dimaafkan ketika
berbuat kesalahan. Jiwa mereka masih sangat rapuh untuk menerima kalimat dan perilaku kasar orang tua hanya karena kesalahan kecil yang mereka pun
mungkin tak sadar kalau itu benar-benar sebuah kesalahan.

Bisa jadi letak kesalahan justru terletak pada orang tua yang terlalu kaku
membuat peraturan, mengekang kebebasan mereka sebagai individu yang meski
masih kecil tetap saja seorang manusia yang berhak dan bebas memilih untuk
melakukan yang terbaik menurut mereka.

Tugas orang tua bukan melarang atau memerintah, tapi lebih kepada
mengarahkan agar mereka tetap berada pada jalur yang sebenarnya.

Menatap kembali wajah-wajah bersih itu dalam tidur mereka yang mungkin
sedang memimpikan Ayah dan Ibu yang tengah menimang dan membuai penuh kasih, tergambar jelas tak sedikit pun ada dosa di diri mereka. Kalau mau
menghitung-hitung, jangan-jangan justru kita lah yang lebih banyak berbuat
kesalahan terhadap mereka dibanding jumlah kesalahan kecil mereka.

Saya teringat banyak kejadian di luar. Misalnya ketika di sebuah angkot
seorang ibu memaki anaknya yang masih berusia empat tahun -dari posturnya
seukuran anak saya- dengan kalimat yang sangat belum waktunya anak sekecil
itu mendapatkannya. Belum lagi tempelengan yang sempat mampir di kepalanya.
"goblok lu ya, kalau jatuh mampus luh," hanya karena ia sempat melongok ke
arah pintu angkot. Sebuah kesalahan kecil yang mestinya bisa disikapi lebih
bijak dengan sebuah nasihat lembut. Atau ketika isteri saya bercerita
tentang seorang ibu dari teman sekolah anak kami di TK. Anaknya terjatuh
saat berlari, "Nyungsep sekalian biar bonyok tuh muka. Udah dibilangin
jangan lari," itu pun masih ditambah satu tamparan di kepala. Yang pasti itu
tak meredakan tangis si anak, bahkan membuat memar di lututnya semakin perih terasa hingga ke hati.

Mengusap bulir keringat di kening mereka dan membelai rambutnya saat tidur
membuahkan pertanyaan di benak ini, haruskah bintang-bintang sejernih ini
mendapatkan perlakuan sekasar itu?

Lihat saja senyum mereka saat terlelap, dan dengarkan hati mereka bernyanyi
dalam mimpi. Anda akan mendengarkan nyanyian riangnya jika Anda
memperlakukannya sepanjang hari seperti halnya Anda tengah menciptakan
sebuah mimpi indah untuknya.

Namun jangan terperanjat ketika tengah malam tidur Anda terusik saat ia
mengigau dan berteriak ketakutan.
Hanya rintihan yang bisa terdengar dari mimpinya karena sepanjang hari ia
hanya mendapatkan kecemasan dan ketakutan dari kalimat kasar, delikkan mata
dan ayunan keras tangan Anda ke tubuh mereka.

Tak seekor nyamuk pun pernah saya persilahkan untuk menyentuh setiap inci
kulit mereka. Lalu kenapa masih ada yang tega mencederai anak-anak, padahal
dalam berbagai dongeng mereka selalu mendengar bahwa yang kasih dan cintanya tak terbanding itulah Ayah dan Ibu.

Coba sentuh dengan lembut wajah halusnya saat tidur, itu akan membuatnya
bermimpi indah seolah tengah terbaring di pangkuan bidadari.

Anak-anak tak pernah membenci orang tuanya, bahkan saat mereka mendapatkan perlakukan kasar dari orang tua pun, tetap saja nama Ayah atau Ibu yang mereka panggil saat menangis. Anak-anak tak pernah berdosa terhadap orang tuanya, justru kebanyakan orang tua yang berdosa kepada mereka dengan makian kasar dan pukulan menyakitkan. Anak-anak tak pernah benar-benar membuat orang tua kesal, orang tua lah yang teramat sering membuat mereka kecewa mendapati Ayah dan Ibunya tak seindah syair lagu yang selalu diajarkan guru di sekolah.

Ah, kadang orang tua baru menyadari bahwa anak-anak hadir untuk dicinta saat
ia terbaring lemah di salah satu tempat tidur di bangsal anak-anak. Atau
ketika Tuhan mencabut amanah itu dari kita. Menangiskah kita?
salam,

Friday, March 17, 2006

Kisah seorang Pemeriksa Pajak Melawan Korupsi

Ini merupakan cerita sesama kolega (sama-sama pegawai negeri gitu), mungkin sebagai bahan pelajaran semua bahwa tidak semua PNS itu jelek, tapi menurutku sih banyak yang idealis gitu

Sebagai pegawai Departemen Keuangan, saya tidak gelisah dan tidak kalangkabut akibatprinsip hidup korupsi. Ketika misalnya, tim Inspektorat Jenderal datang, BPKPdatang, BPK datang, teman-teman di kantor gelisah dan belingsatan, kami tenang saja.

Jadi sebenarnya hidup tanpa korupsi itu menyenangkan sekali.Hidup tidak korupsi itusebenarnya lebih menyenangkan. Meski orang melihat kita sepertinya sengsara, tapi sebetulnya lebih menyenangkan.

Keadaan itu paling tidak yang saya rasakan langsung. Saya Arif Sarjono, lahir di Jawa Timur tahun 1970, sampai dengan SMA di Mojokerto,kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan selesai pada 1992.Pada 17 Oktober 1992 saya menikah dan kemudian saya ditugaskan di Medan. Saya ketikaitu mungkin termasuk generasi pertama yang mencoba menghilangkan dan melawan aruskorupsi yang sudah sangat lazim. Waktu itu pertentangan memang sangat keras. Sayapunya prinsipsatu saja, karena takut pada Allah, jangan sampai ada rezeki harammenjadi daging dalam diri dan keturunan. Itu saja yang selalu ada dalam hati saya. Kalau ingat prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi untuk mengambil jarak yangjelas dan tidak menikmati sedikit pun harta yang haram. Syukurlah, prinsip itu bisadidukung keluarga, karena isteri juga aktif dalam pengajian keislaman. Sejak awalketika menikah, saya sampaikan kepada isteri bahwa saya pegawai negeri di DepartemenKeuangan, meski imej banyak orang, pegawai Departemen Keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak begitu. Gaji saya hanya sekian, kalau mau diajak hidup sederhana dan tanpa korupsi, ayo. Kalau tidak mau, ya sudah tidak jadi. Dari awal saya sudah berusaha menanamkan komitmen kami seperti itu. Saya jugasering ingatkan kepada isteri, bahwa kalau kita konsisten dengan jalan yang kitapilih ini, pada saat kita membutuhkan maka Allah akan selesaikan kebutuhan itu. Jadiyg penting usaha dan konsistensi kita. Saya juga suka mengulang beberapa kejadianyg kami alami selama menjalankan prinsip hidup seperti ini kepada istri. Bahwa ygpenting bagi kita adalah cukup dan berkahnya, bahwa kita bisa menjalani hidup layak.

Bukan berlebih seperti memiliki rumah dan mobil mewah. Menjalani prinsip seperti ini jelas banyak ujiannya. Di mata keluarga besarmisalnya, orangtua saya juga sebenarnya mengikuti logika umum bahwa orang pajakpasti kaya. Sehingga mereka biasa meminta kami membantu adik-adik dan keluarga. Tapikami berusaha menjelaskan bahwa kondisi kami berbeda dengan imej dan anggapan orang.

Proses memberi pemahaman seperti ini pada keluarga sulit dan membutuhkan waktubertahun-tahun. Sampai akhirnya pernah mereka berkunjung ke rumah saya di Medan,saat itulah mereka baru mengetahui dan melihat bagaimana kondisi keluarga saya,barulah perlahan-lahan mereka bisa memahami. Jabatan saya sampai sekarang adalah petugas verifikasi lapangan atau pemeriksapajak. Kalau dibandingkan teman-teman seangkatan sebenarnya karir saya bisadikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun. Seharusnya paling tidak sudahmenjabat Kepala Seksi, Eselon IV. Tapi sekarang baru Eselon V. Apalagi dahulu dimasa Orde Baru, penentangan untuk tidak menerima uang korupsi sama saja dengan karirterhambat. Karena saya dianggap tidak cocok dengan atasan, maka kondite saya dimata mereka buruk. Terutama poin ketaatannya, dianggap tidak baik dan jatuh. Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua pengalaman itu. Antara lain,orang-orang yang berbuat jahat akan selalu berusaha mencari kawan apa pun caranya.Cara keras, pelan, lewat bujukan atau apa pun akan mereka lakukan agar merekamendapat dukungan. Mereka pada dasarnya tidak ingin ada orang yang bersih. Merekatidak ingin ada orang yang tidak seperti mereka. Pengalaman di kantor yang paling berkesan ketika mereka menggunakan cara palinghalus, pura-pura berteman dan bersahabat. Tapi belakangan, setelah sekian tahunbarulah ketahuan, kita sudah dikhianati. Cara seperti in seperti sudah direkayasa.Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati. Mereka dikenalkan dengan gaya hidup dancara bekerja pegawai lama, bahwa seperti inilah gaya hidup pegawai DepartemenKeuangan. Bila tidak berhasil, mereka akan pakai cara lain lagi, begitu seterusnya.Pola-pola apa saja dipakai, sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi teman. Saya pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat simpatikdi mata saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau bermain ke rumah bawahan. Sayadengan atasan itu kemudian menjadi seperti sahabat, bahkan seperti keluarga sendiri.

Di akhir pekan, kami biasa memancing sama-sama atau jalan-jalan bersama keluarga.Dan ketika pulang, dia biasa juga menitipkan uang dalam amplop pada anak-anak saya.Saya sendiri menganggap pemberian itu hanya hadiah saja, berapalah hadiah yangdiberikan kepada anak-anak. Tidak terlalau saya perhatikan. Apalagi dalam prosespertemanan itu kami sedikit saja berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga seringdatang menjemput ke rumah, mangajak mancing atau ke toko buku sambil membawaanak-anak. Hingga satu saat saya mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah perusahaan besar.Dari hasil pemeriksaan itu saya menemukan penyimpangan sangat besar dan luar biasajumlahnya. Pada waktu itu, atasan melakukan pendekatan pada saya dengan cara palinghalus. Dia mengatakan, kalau semua penyimpangan ini kita ungkapkan, maka perusahaanitu bangkrut dan banyak pegawai yang di-PHK. Karena itu, dia menganggap efekpembuktian penyimpangan itu justru menyebabkan masyarakat rugi. Sementara dari sisipandang saya, betapa tidak adilnyakalau tidak mengungkap temuan itu. Karenasebelumnya ada yang melakukan penyimpangan dan kami ungkapkan. Berarti adapembedaan. Jadwal penagihannya pun sama seperti perusahaan lain. Karena dirasa sulit mempengaruhi sikap saya, kemudian dia memakai logika lain lagi.Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu diturunkan dan dirundingkan dengan klien,agar bisa membayar pajak dan negara untung, karena ada uang yang masuk negara.Logika seperti ini juga tidak bisa saya terima. Waktu itu, saya satu-satunyaanggotatim yang menolak dan memintaagar temuan itu tetap diungkap apa adanya. Meski sayajuga sadar, kalau saya tidak menandatangani hasil laporan itu pun, laporan itu akantetap sah. Tapi saya merasa teman-teman itu sangat tidak ingin semua sepakat dansama seperti mereka. Mereka ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Palingtidak menerima. Ketika sudah mentok semuanya, saya dipanggil oleh atasan dandisidang di depan kepala kantor. Dan ini yang amat berkesan sampai sekarang, bahwaupaya mereka untuk menjadikan orang lain tidak bersih memang direncanakan. Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah lama bersahabatdan sepertikeluarga sendiri dengan saya itu mengatakan, ?

Sudahlah, Dik Arif tidak usahmunafik.? Saya katakan, ?Tidak munafik bagaimana Pak? Selama ini saya insya Allahkonsisten untuk tidak melakukan korupsi.? Kemudian ia sampaikan terus terang bahwauang yang selama kurang lebih dua tahun ia berikan pada anak sayaadalah uang dariklien. Ketika mendengar itu, saya sangat terpukul, apalagi merasakan sahabat ituternyata berkhianat. Karena terus terang saya belum pernah mempunyai teman sangatdekat seperti itu, kacuali yang memang sudah sama-sama punya prinsip untuk menolakuang suap. Bukan karena saya tidak mau bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwa merekaperlahan-lahan menggiring ke arah yang mereka mau. Ketika merasa terpukul dan tidak bisa membalas dengan kata-kata apa pun, sayapulang. Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada isteri saya di rumah. Ketikamendengar cerita saya itu, isteri langsung sujud syukur. Ia lalu mengatakan, ?Alhamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah saya pakai,?katanya. Ternyata di luar pengatahuan saya, alhamdulillah, amplop-amplo itu tidakdigunakan sedikit pun oleh isteri saya untuk keperluan apa pun. Jadi amplop-amplopitu disimpan di sebuah tempat, meski ia sama sekali tidak tahu apa status uang itu.Amplop-amplop itu semuanya masih utuh. Termasuk tulisannya masih utuh, tidak adayang dibuka. Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang jelas, bukan lagi puluhanjuta. Karena sudah masuk hitungan dua tahun dan diberikan hampir setiap pekan. Saya menjadi bersemangat kembali. Saya ambil semua amplop itu dan saya bawa kekantor. Saya minta bertemu dengan kepala kantor dan kepala seksi. Dalam forum itu, saya lempar semua amplop itu di hadapan atasan saya hinggabertaburan di lantai.

Saya katakan, ? Makan uang itu, satu rupiah pun saya tidakpernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak pernah percaya satu punperkataan kalian.? Mereka tidak bisa bicara apa pun karena fakta obyektif, sayatidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi esok harinya, saya langsungdimutasi antar seksi. Awalnya saya diauditor, lantas saya diletakkan di arsip,meski tetap menjadi petugas lapangan pemeriksa pajak. Itu berjalan sampai sekarang.Ketika melawan arus yang kuat, tentu saja da saat tarik-menarik dalam hati dankonflik batin. Apalagi keluarga saya hidup dalam kondisi terbatas. Tapialhamdulillah, sampai sekarang saya tidak tergoda untuk menggunakan uang yang tidakjelas. Ada pengalaman lain yang masih saya ingat sampai sekarang. Ketika sayamengalami kondisi yang begitu mendesak. Misalnya, ketika anak kedua lahir. Saat itupersis ketika saya membayar kontrak rumah dan tabungan saya habis. Sampai detik-detik terakhir harus membayar uang rumahsakit untuk membawa isteri dan bayi kami ke rumah, saya tidak punya uang serupiahpun. Saya mau bcara dengan pihak rumah sakit dan terus terang bahwa insya Allah pekandepan akan saya bayar, tapi saya tidak bisa ngomong juga. Akhirnya saya keluarsebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu pulang dari sholat dhuha, tiba-tibasaja saya ketemu teman lama di rumah sakit itu. Sebelumnya kami lama sekali tidakpernah jumpa. Dia dapat cerita dari teman bahwa isteri saya melahirkan, maka diasempatkan datang ke rumah sakit. Wallahu a?lam apakah dia sudah diceritakan kondisisaya atau bagaimana, tetapi ketika ingin menyampaikan kondisi saya pada pihak rumahsakit, saya malah ditunjukkan kwitansi seluruh biaya perawatan isteri yang sudahlunas. Alhamdulillah. Ada lagi peristiwa hampir sama, ketika anak saya operasi mata karena ada lipoma yangharus diangkat. Awalnya, saya pakai jasa askes. Tapi karena pelayanan pengguna Askestampaknya apa adanya, dan saya kasihan karena anak saya baru berumur empat tahun,saya tidak pakai Askes lagi. Saya ke Rumah Sakit yang agak bagus sehingga pelayanannya juga agak bagus. Itu saya lakukan sambil tetap berfikir, nanti uangnya pinjam dari mana? Ketika anak harus pulang, saya belum juga punya uang. Dan saya paling susah sekalimenyampaikan ingin pinjam uang. Alhamdulillah, ternyata Allah cukupkan kebutuhan itupada detik terakhir. Ketika sedang membereskan pakaian di rumah sakit, tiba-tibaAllah pertemukan saya dengan seseorang yang sudah lama tidak bertemu. Ia bertanyam bagaimana kabar, dan saya ceritakan anak saya sedang dioperasi. Dia katakan, ?Kenapatidak bilang-bilang?? Saya sampaikan karena tidak sempat saja. Setelah teman itupulang, ketika ingin menyampaikan penundaan pembayaran, ternyata kwitansinya jugasudah dilunasi oleh teman itu. Alhamdulillah. Saya berusaha tidak terjatuh ke dalam korupsi, meski masih ada tekanan keluargabesar, di luar keluarga inti saya. Karena ada teman yang tadinya baik tidak memakankorupsi, tapi jatuh karena tekanan keluarga. Keluarganya minta bantuan, karenatakut dibilang pelit, mereka terpaksa pinjam sana sini. Ketika harus bayar, akhirnyamereka terjerat korupsi juga. Karena banyak yang seperti itu, dan saya tidak mauterjebak begitu, saya berusaha dari awal tidak demikian. Saya berusaha cari usahalain, dengan mengajar dan sebagainya. Isteri saya juga bekerja sebagai guru. Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya lakukan biasanya lebih banyak denganbercanda. Sedangkan pendekatan serius, sebenarnya mereka sudah puas denganpendekatan itu, tapi tidak berubah. Dengan pendekatan bercanda, misalnya ketikadatang tim pemeriksa dari BPK, BPKP, atau Irjen. Mereka gelisah sana-sini kumpulkanuang untuk menyuap pemeriksa. Jadi mereka dapat suap lalu menyuap lagi. Sepertirantai makanan. Siapa memakan siapa. Uang yang mereka kumpulkan juga habis untuk dipakai menyuap lagi. Mereka selalutakut ini takut itu. Paling sering saya hanya mengatakan dengan bercanda, ?Uangsetan ya dimakan hantu.? Dari percakapan seperti itu ada juga yang mulai berubah, kemudian berdialog danakhirnya berhenti sama sekali. Harta mereka jual dan diberikan kepada masyarakat.Tapi yang seperti itu tidak banyak. Sedikit sekali orang yang bisa merubah gayahidup yang semula mewah lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit sekali. Ada juga diantara teman-teman yang beranggapan, dirinya tidak pernah memeras dantidak memakan uang korupsi secara langsung. Tapi hanya menerima uang dari atasan.

Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan itu hanya memberi. Mereka mengatakantidak perlu bertanya uang itu dari mana. Padahal sebenarnya, dari ukuran gaji kamitahu persis bahwa atasan kami tidak akan pernah bisa memberikan uang sebesar itu. Atasan yang memberikan itu berlapis-lapis. Kalau atasan langsung biasanya memberiuang hari Jum?at atau akhir pekan. Istilahnya kurang lebih uang Jum?atan. Atasanyang berikutnya lagi pada momen berikutnya memberi juga. Kalau atasan yang lebih tinggi lagi biasanya memberi menjelang lebaran dansebagainya. Kalau dihitung-hitung sebenarnya lebih besar uang dari atasan dibandinggaji bulanan. Orang-orang yang menerima uang seperti ini yang sulit berubah. Merekatermasuk rajin sholat, puasa sunnah dan membaca Al-Qur?an. Tetapi mereka sulitberubah. Ternyata hidup dengan korupsi memang membuat sengsara. Di antarateman-teman yang korupsi, ada juga yang akhirnya dipecat, ada yang melarikan dirikarena dikejar-kejar polisi, ada yang isterinya selingkuh dan lain-lain. Meskisecara ekonomi mereka sangat mapan, bukan hanya sekadar mapan. Yang sangat dramatis, saya ingat teman sebangku saya saat kuliah di STAN. Awalnya dia sama-sama ikut kajian keislaman di kampus. Tapi ketika keluarganya mulaisering minta bantuan, adiknya kuliah, pengobatan keluarga dan lainnya, dia tidakbisa berterus terang tidak punya uang. Akhirnya ia mencoba hutang sana-sini. Diapun terjebak dan merasa sudah terlanjur jatuh, akhirnya dia betul-betul sama denganteman-teman di kantor. Bahkan sampai sholat ditinggalkan. Terakhir, dia ditangkappolisi ketika sedang mengkonsumsi narkoba. Isterinya pun selingkuh. Teman itusekarang dipecat dan dipenjara. Saya berharap akan makin banyak orang yang melakukan jihad untuk hidup yang bersih.Kita harus bisa menjadi pelopor dan teladan di mana saja. Kiatnya hanya satu, terusmenerus menumbuhkan rasa takutmenggunakan dan memakan uang haram. Jangan sampaidaging kita ini tumbuh dari hasil rejeki yang haram. Saya berharap, mudah-mudahanAllah tetap memberikan pada kami keistiqomahan (matanya berkaca-kaca). Sumber:

(Majalah Tarbawi Edisi 111 Th. 7/Jumadal Ula 1426 H/23 Juni 2005)


ShoutMix chat widget